Pembelajaran terdiri dari proses belajar dan mengajar. Belajar mengajar sebagai suatu sistem instruksional mengacu kepada pengertian sebagai seperangkat komponen yang saling bergantung satu dengan lainnya dalam mencapai tujuan. Sebagai suatu sistem, belajar mengajar meliputi suatu komponen seperti: tujuan, bahan, siswa, guru, metode, situasi dan evaluasi. Tujuan tersebut dapat tercapai jika semua komponen diorganisasikan sehingga terjadi kerja sama antar-komponen (Syaiful B. Djamarah & Aswan Zain, 1996:10). Menurut Mursell (1975:28), pembelajaran adalah suatu usaha mengordinasikan proses belajar.
Secara sederhana, pembelajaran sejarah diartikan sebagai suatu sistem belajar mengajar sejarah. Pembelajaran sejarah berkaitan dengan teori-teori kesejarahan. Berbeda dengan ilmu sejarah, pembelajaran sejarah atau mata pelajaran sejarah dalam kurikulum sekolah memang tidak secara khusus bertujuan untuk memajukan ilmu atau untuk menelorkan calon ahli sejarah, karena penekanannya dalam pembelajaran sejarah tetap terkait dengan tujuan pendidikan pada umumnya yaitu ikut membangun kepribadian dan sikap mental siswa. Sutrisno Kuntoyo (1985 :46) menyatakan bahwa kesadaran sejarah paling efektif diajarkan melalui pendidikan formal. Hamid Hasan berpendapat, terdapat beberapa pemaknaan terhadap pendidikan sejarah. Pertama, secara tradisional pendidikan sejarah dimaknai sebagai upaya untuk mentransfer kemegahan bangsa di masa lampau kepada generasi muda. Dengan posisi yang demikian maka pendidikan sejarah adalah wahana bagi pewarisan nilai-nilai keunggulan bangsa. Melalui posisi ini pendidikan sejarah ditujukan untuk membangun kebanggaan bangsa dan pelestarian keunggulan tersebut. Kedua, pendidikan sejarah berkenaan dengan upaya memperkenalkan peserta didik terhadap disiplin ilmu sejarah. Oleh karena itu kualitas seperti berpikir kronologis, pemahaman sejarah, kemampuan analisis dan penafsiran sejarah, kemampuan penelitian sejarah, kemampuan analisis isu dan pengambilan keputusan (historical issues-analysis and decision making) menjadi tujuan penting dalam pendidikan sejarah (Hasan Hamid, 2007: 7).
I Gde Widja (1989: 23) menyatakan bahwa pembelajaran sejarah adalah perpaduan antara aktivitas belajar dan mengajar yang di dalamnya mempelajari tentang peristiwa masa lampau yang erat kaitannya dengan masa kini. Pendapat I Gde Widya tersebut dapat disimpulkan jika mata pelajaran sejarah merupakan bidang studi yang terkait dengan fakta-fakta dalam ilmu sejarah namun tetap memperhatikan tujuan pendidikan pada umumnya.
Dalam Seminar Sejarah Nasional di Yogyakarta tahun 1957, Padmopuspito berpendapat bahwapertama, penyusunan pelajaran sejarah harus bersifat ilmiah. Kedua, siswa perlu bimbangan dalam berfikir tetapi tafsiran dan penilaian tidak boleh dipaksakan, karena dapat mematikan daya pikir siswa (Sidi Gasalba, 1966:169). Dalam bidang pembelajaran sejarah, terdapat tiga faktor yang harus dipahami tentang materi sejarah. Pertama, hakekat fakta sejarah. Kedua, hakekat penjelasan dalam sejarah. Ketiga,masalah obyektivitas sejarah (Burston dalam Haryono, 1995:12).
Peran pendidikan sejarah dalam pembentukan sikap nasionalisme guna mengantisipasi tantangan global dan berbagai gejolak disintegrasi yang melanda Indonesia akhir-akhir ini sangat dibutuhkan, hal ini mengingat pengalaman sejarah membuktikan sikap nasionalisme mampu membangkitkan dinamika sosial di masa lalu.
Sikap nasionalisme yang dimiliki rakyat indonesia telah mampu menghantarkan bangsa menuju kemerdekaan di tengah keterbelakangan pengetahuan rakyat indonesia dan kuatnya persenjataan penjajah, dalam kontek saat itu. Namun saat ini nasionalisme yang dimiliki bangsa menunjukkan kerapuhan. konflik antar suku dan agama karena perbedaan nilai, dan upaya beberapa daerah yang ingin memisahkan diri dari Negar Kesatua Republik Indonesia merupakan bukti bahwa kesatuan nasional masih rapuh (Ibnu Hizam:2007:288)
Dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 22 tahun 2006 tentang Standar Isi yang tercantum dalam lampiran Peraturan Menteri, untuk satuan pendidikan dasar dan menengah dijelaskan terkait materi dan tujuan dari pembelajaran sejarah maka mata pelajaran Sejarah memiliki arti strategis dalam pembentukan watak dan peradaban bangsa yang bermartabat serta dalam pembentukan manusia Indonesia yang memiliki rasa kebangsaan dan cinta tanah air. Secara umum materi sejarah:
(1) mengandung nilai-nilai kepahlawanan, keteladanan, kepeloporan, patriotisme, nasionalisme, dan semangat pantang menyerah yang mendasari proses pembentukan watak dan kepribadian peserta didik;
(2) memuat khasanah mengenai peradaban bangsa-bangsa, termasuk peradaban bangsa Indonesia. Materi tersebut merupakan bahan pendidikan yang mendasar bagi proses pembentukan dan penciptaan peradaban bangsa Indonesia di masa depan;
(3) menanamkan kesadaran persatuan dan persaudaraan serta solidaritas untuk menjadi perekat bangsa dalam menghadapi ancaman disintegrasi bangsa;
(4) sarat dengan ajaran moral dan kearifan yang berguna dalam mengatasi krisis multidimensi yang dihadapi dalam kehidupan sehari-hari;
(5) berguna untuk menanamkan dan mengembangkan sikap bertanggung jawab dalam memelihara keseimbangan dan kelestarian lingkungan hidup
Atas dasar hal tersebut, maka sejarah diberikan kepada seluruh siswa di sekolah dari tingkat dasar (SD dan sederajat) sampai tingkat menengah (SMA dan sederajat) dalam bentuk mata pelajaran. Kedudukannya yang penting dan strategis dalam pembangunan watak bangsa merupakan fungsi yang tidak bisa digantikan oleh mata pelajaran lainnya. Meskipun demikian, terkait dengan materi sejarah dri tingkat dasar sampai menengah, Taufik Abdullah berpendapat agar siswa tidak bosan menerima materi sejarah, maka jika secara faktual yang disampaikan sama namun dalam setiap jenjang pendidikan, peristiwa tersebut akan tampil pada tingkat pengetahuan, pemahaman, serta pemberian keterangan sejarah yang semakin tinggi dan kompleks. Dengan demikian, setiap tingkatan atau tahap diharapkan bisa memberikan kesegaran dan kematangan intelektual (Taufik Abdullah, 1996: 10).
Dari pandangan di atas, dapat disimpulkan bahwa pembelajaran sejarah tidak mengkhususkan mempelajari fakta-fakta dalam sejarah sebagai ilmu namun perpaduan antara sejarah dan tujuan pendidikan pada umumnya. Meski demikian, pembelajaran sejarah berusaha menampilkan fakta sejarah secara obyektif meskipun tetap dalam kerangka fakta sejarah yang sesuai dengan tujuan pendidikan itu sendiri.
2.2 Kendala-Kenda dalam Pembelajaran Sejarah
Pembelajaran sejarah di sekolah sering kali dianggap tidak menarik. Hal ini dapat dilihat dari hasil jajak pendapat Kompas tentang kendala pembelajaran sejarah di sekolah. Model pembelajaran yang konvensional menjadi faktor utama yang membuat pembelajaran sejarah di sekolah tidak menarik.
Pelajaran sejarah di sekolah, sering dianggap sebagai pelajaran hafalan dan membosankan. Pembelajaran ini dianggap tidak lebih dari rangkaian angka tahun dan urutan peristiwa yang harus diingat kemudian diungkap kembali saat menjawab soal-soal ujian. Kenyataan ini tidak dapat dipungkiri, karena masih terjadi sampai sekarang. Salah satu faktor yang menyebabkan pelajaran sejarah terasa membosankan dan kurang disukai oleh anak sekolah adalah metode yang digunakan kebanyakan guru sejarah. YR Subakti mengatakan “Mata pelajaran sejarah diajarkan dengan satu metode andalan 'ceramah'.... Akibatnya sejarah identik dengan ceramah, seolah-olah pembelajaran sejarah mentabukan inovasi dalam desain pembelajaran.” Hal senada juga diungkapkan oleh Baskoro T. Wardaya, “Menurut saya pembelajaran sejarah itu diajarkan dengan cara yang kreatif dan imanjinatif, kreatif dalam arti tidak satu cara yang dipakai, dulu kan model ceramah.” Selain faktor pengajar, YR Subakti juga menyebutkan 3 komponen lain yang menjadi penyebab munculnya masalah dalam pembelajaran sejarah yaitu (1) Metode pembelajaran sejarah pada umumnya kurang menantang daya intelektual peserta didik; (2) Peserta didik yang kurang positif terhadap pembelajaran sejarah; dan (3) Buku-buku sejarah dan media pembelajaran sejarah yang masih terbatas.
Dari data nilai yang diperoleh dari SMPN 19 Surabaya, terlihat bahwa rata-rata nilai mata pelajaran IPS terpadu memang masih kurang optimal. Di sisi lain, ratarata nilai pelajaran IPA yang terkenal lebih sulit malah mampu menduduki urutan pertama dengan rata-rata 82,58. Sedangkan rata-rata nilai IPS hanya 79,75 dan berada di urutan ke empat. Pelajaran sejarah merupakan bagian dari mata pelajaran IPS terpadu. Selain sejarah, dalam IPS terpadu terdapat juga pelajaran ekonomi dan geografi. Dan menurut pengakuan guru sejarah dan murid, memang nilai ketiga mata pelajaran tersebut tidak jauh berbeda.7 Dari sini terlihat bahwa proses pembelajaran sejarah yang berlangsung masih kurang optimal dan masih bisa ditingkatkan kembali. Salah satu penyebab kurang optimalnya pembelajaran sejarah di sekolah adalah media pembelajarannya.
Berikut ini beberapa permasalahan yang dihadapi dalam proses pembelajaran sejarah :
1) Pelajaran sejarah dianggap sebagai pelajaran yang membosankan. Metode yang digunakan guru sejarah pada umumnya yaitu „ceramah‟ dirasa membosankan.
2) Media pembelajaran sejarah yang biasa digunakan di sekolah (buku pelajaran) dirasa masih kurang menarik dan tidak mudah dipahami oleh siswa, penyebabnya antara lain adalah layout buku yang kaku, lebih banyak teks daripada gambar, serta gambar yang disajikan kurang jelas dan sebagian tidak berwarna (monotone).
3) Teknik penyampaian materi pada buku-buku pelajaran sejarah yang ada sekarang hanya satu arah dirasa kurang menarik dan sulit di pahami oleh siswa. Membuat siswa kesulitan mengingat materi yang berisikan peristiwa-peristiwa sejarah, tahun-tahun penting kejadian, dan tokoh-tokoh yang terdapat pada peristiwa tersebut.
2.3 Solusi Permasalahan yang Dapat Dilakukan untuk Menangani Kendala dalam Pembelajaran Sejarah
Salah satu metode pembelajaran sejarah yang cocok untuk menjadikan mahasiswa aktif dan dosen sebagai fasilitatornya adalah kontruktivisme dan inquiry. Kontruktivisme adalah bahwa pengetahuan dibangun oleh manusia sedikit demi sedikit, yang hasilnya diperluas melalui konteks yang terbatas (Anggara, 2007:104). Pembelajaran sejarah kontruktivisme berkaitan dengan pembelajaran yang berhubungan dengan masalah-masalah yang dihadapi oleh mahasiswa dalam kehidupan sehari-hari di kelas. Metode inquiry juga sesuai dalam pembelajaran sejarah. Pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh siswa diharapkan bukan hasil mengingat seperangkat fakta-fakta, tetapi hasil dari menemukan sendiri.
Siswa merasa pelajaran sejarah akan lebih menarik jika disampaikan dengan menggunakan teks dan animasi interaktif. Sedangkan untuk media yang paling menarik sebagai media pembelajaran sejarah adalah film dan media interaktif.
Film memang merupakan sebuah media yang sangat mampu menyampaikan pesan atau materi yang menarik dan dipahami dengan mudah oleh siswa, akan tetapi biaya yang tinggi dan durasi film yang pendek (sekitar 1-2 jam) menjadikan materi yang dapat disampaikan dalam film hanya sebagian kecil dari kurikulum yang telah ditetapkan. Berbeda dengan film, dalam media interaktif dapat disajikan materi yang lebih banyak. Serta siswa dapat aktif berinteraksi dengan materi dan soal-soal yang diberikan.
Media interaktif memungkinkan siswa belajar sesuai dengan kemampuan dan kecepatannya dalam memahami pengetahuan dan informasi yang disampaikan. Penggunaan komputer dalam proses belajar membuat mahasiswa dapat melakukan kontrol terhadap aktivitas belajarnya. Kemampuan komputer untuk menayangkan kembali informasi yang diperlukan oleh pemakainya, yang diistilahkan dengan dapat membantu mahasiswa yang memiliki kecepatan belajar lambat. Dengan kata lain, media interaktif dapat menciptakan iklim belajar yang efektif bagi mahasiswa yang lambat (slow learner), tetapi juga dapat memacu efektivitas belajar bagi mahasiswa yang lebih cepat (fast learner). Di samping itu, media interaktif dapat diprogram agar mampu memberikan umpan balik terhadap hasil belajar sehingga siswa dapat langsung mengetahui benar atau salahnya jawaban, sekaligus mengukur tingkat pemahamannya terhadap materi. Kelebihan lain dari media interaktif adalah kemampuan dalam mengintegrasikan gambar, teks, suara, dan animasi, sehingga membuat proses pembelajaran sejarah menjadi lebih menarik dan materi yang disampaikan dapat lebih mudah dicerna.
Kamis, 11 Juni 2015
Analisis Permasalahan dalam Pembelajaran Sejarah
Posted by akhirulariyanto on 18.16 with No comments
Rabu, 03 Juni 2015
Resume Kurikulum 2013 Jenjang SMP
Posted by akhirulariyanto on 20.14 with No comments
2.1 Lahirnya Kurikulum
Kurikulum adalah perangkat mata pelajaran dan program pendidikan yang diberikan oleh suatu lembaga penyelenggara pendidikan yang berisi rancangan pelajaran yang akan diberikan kepada peserta pelajaran dalam satu periode jenjang pendidikan. Penyusunan perangkat mata pelajaran ini disesuaikan dengan keadaan dan kemampuan setiap jenjang pendidikan dalam penyelenggaraan pendidikan tersebut serta kebutuhan lapangan kerja.
Lama waktu dalam satu kurikulum biasanya disesuaikan dengan maksud dan tujuan dari sistem pendidikan yang dilaksanakan. Kurikulum ini dimaksudkan untuk dapat mengarahkan pendidikan menuju arah dan tujuan yang dimaksudkan dalam kegiatan pembelajaran secara menyeluruh.
Berdasarkan pengertian kurikulum dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, ada dua dimensi kurikulum, yang pertama adalah rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran, sedangkan yang kedua adalah cara yang digunakan untuk kegiatan pembelajaran. Kurikulum 2013 yang diberlakukan mulai tahun ajaran 2013/2014 memenuhi kedua dimensi tersebut.
2.2 Landasan kurikulum
2.2.1 Landasan Yuridis
Secara konseptual, kurikulum adalah suatu respon pendidikan terhadap kebutuhan masyarakat dan bangsa dalam membangun generasi muda bangsanya. Secara pedagogis, kurikulum adalah rancangan pendidikan yang memberi kesempatan untuk peserta didik mengembangkan potensi dirinya dalam suatu suasana belajar yang menyenangkan dan sesuai dengan kemampuan dirinya untuk memiliki kualitas yang diinginkan masyarakat dan bangsanya. Secara yuridis, kurikulum adalah suatu kebijakan publik yang didasarkan kepada dasar filosofis bangsa dan keputusan yuridis di bidang pendidikan.
Landasan yuridis kurikulum adalah Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945, Undang-undang nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Peraturan Pemerintah nomor 19 tahun 2005, dan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional nomor 23 tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan dan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional nomor 22 tahun 2006 tentang Standar Isi.
2.2.2 Landasan Filosofis
Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa (UU RI nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional). Untuk mengembangkan dan membentuk watak dan peradaban bangsa yang bermartabat, pendidikan berfungsi mengembangkan segenap potensi peserta didik “menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warganegara yang demokratis serta bertanggungjawab” (UU RI nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional).
Berdasarkan fungsi dan tujuan pendidikan nasional maka pengembangan kurikulum haruslah berakar pada budaya bangsa, kehidupan bangsa masa kini, dan kehidupan bangsa di masa mendatang.
Pendidikan berakar pada budaya bangsa. Proses pendidikan adalah suatu proses pengembangan potensi peserta didik sehingga mereka mampu menjadi pewaris dan pengembang budaya bangsa. Melalui pendidikan berbagai nilai dan keunggulan budaya di masa lampau diperkenalkan, dikaji, dan dikembangkan menjadi budaya dirinya, masyarakat, dan bangsa yang sesuai dengan zaman dimana peserta didik tersebut hidup dan mengembangkan diri. Kemampuan menjadi pewaris dan pengembang budaya tersebut akan dimiliki peserta didik apabila pengetahuan, kemampuan intelektual, sikap dan kebiasaan, keterampilan sosial memberikan dasar untuk secara aktif mengembangkan dirinya sebagai individu, anggota masyarakat, warganegara, dan anggota umat manusia.
Pendidikan juga harus memberikan dasar bagi keberlanjutan kehidupan bangsa dengan segala aspek kehidupan bangsa yang mencerminkan karakter bangsa masa kini. Oleh karena itu, konten pendidikan yang mereka pelajari tidak semata berupa prestasi besar bangsa di masa lalu tetapi juga hal-hal yang berkembang pada saat kini dan akan berkelanjutan ke masa mendatang. Berbagai perkembangan baru dalam ilmu, teknologi, budaya, ekonomi, sosial, politik yang dihadapi masyarakat, bangsa dan umat manusia dikemas sebagai konten pendidikan. Konten pendidikan dari kehidupan bangsa masa kini memberi landasan bagi pendidikan untuk selalu terkait dengan kehidupan masyarakat dalam berbagai aspek kehidupan, kemampuan berpartisipasi dalam membangun kehidupan bangsa yang lebih baik, dan memosisikan pendidikan yang tidak terlepas dari lingkungan sosial, budaya, dan alam. Lagipula, konten pendidikan dari kehidupan bangsa masa kini akan memberi makna yang lebih berarti bagi keunggulan budaya bangsa di masa lalu untuk digunakan dan dikembangkan sebagai bagian dari kehidupan masa kini.
Peserta didik yang mengikuti pendidikan masa kini akan menggunakan apa yang diperolehnya dari pendidikan ketika mereka telah menyelesaikan pendidikan 12 tahun dan berpartisipasi penuh sebagai warganegara. Atas dasar pikiran itu maka konten pendidikan yang dikembangkan dari warisan budaya dan kehidupan masa kini perlu diarahkan untuk memberi kemampuan bagi peserta didik menggunakannya bagi kehidupan masa depan terutama masa dimana dia telah menyelesaikan pendidikan formalnya. Dengan demikian sikap, keterampilan dan pengetahuan yang menjadi konten pendidikan harus dapat digunakan untuk kehidupan paling tidak satu sampai dua dekade dari sekarang. Artinya, konten pendidikan yang dirumuskan dalam Standar Kompetensi Lulusan dan dikembangkan dalam kurikulum harus menjadi dasar bagi peserta didik untuk dikembangkan dan disesuaikan dengan kehidupan mereka sebagai pribadi, anggota masyarakat, dan warganegara yang produktif serta bertanggungjawab di masa mendatang.
2.2.3 Landasan Teoritis
Kurikulum dikembangkan atas dasar teori pendidikan berdasarkan standar dan teori pendidikan berbasis kompetensi. Pendidikan berdasarkan standar adalah pendidikan yang menetapkan standar nasional sebagai kualitas minimal hasil belajar yang berlaku untuk setiap kurikulum. Standar kualitas nasional dinyatakan sebagai Standar Kompetensi Lulusan. Standar Kompetensi Lulusan tersebut adalah kualitas minimal lulusan suatu jenjang atau satuan pendidikan. Standar Kompetensi Lulusan mencakup sikap, pengetahuan, dan keterampilan (PP nomor 19 tahun 2005).
Standar Kompetensi Lulusan dikembangkan menjadi Standar Kompetensi Lulusan Satuan Pendidikan yaitu SKL SD, SMP, SMA, SMK. Standar Kompetensi Lulusan satuan pendidikan berisikan 3 (tiga) komponen yaitu kemampuan proses, konten, dan ruang lingkup penerapan komponen proses dan konten. Komponen proses adalah kemampuan minimal untuk mengkaji dan memproses konten menjadi kompetensi. Komponen konten adalah dimensi kemampuan yang menjadi sosok manusia yang dihasilkan dari pendidikan. Komponen ruang lingkup adalah keluasan lingkungan minimal dimana kompetensi tersebut digunakan, dan menunjukkan gradasi antara satu satuan pendidikan dengan satuan pendidikan di atasnya serta jalur satuan pendidikan khusus (SMK, SDLB, SMPLB, SMALB).
Kompetensi adalah kemampuan seseorang untuk bersikap, menggunakan pengetahuan dan keterampilan untuk melaksanakan suatu tugas di sekolah, masyarakat, dan lingkungan dimana yang bersangkutan berinteraksi. Kurikulum dirancang untuk memberikan pengalaman belajar seluas-luasnya bagi peserta didik untuk mengembangkan sikap, keterampilan dan pengetahuan yang diperlukan untuk membangun kemampuan tersebut. Hasil dari pengalaman belajar tersebut adalah hasil belajar peserta didik yang menggambarkan manusia dengan kualitas yang dinyatakan dalam SKL.
Kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu (UU nomor 20 tahun 2003; PP nomor 19 tahun 2005). Kurikulum berbasis kompetensi adalah kurikulum yang dirancang baik dalam bentuk dokumen, proses, maupun penilaian didasarkan pada pencapaian tujuan, konten dan bahan pelajaran serta penyelenggaraan pembelajaran yang didasarkan pada Standar Kompetensi Lulusan.
Konten pendidikan dalam SKL dikembangkan dalam bentuk kurikulum satuan pendidikan dan jenjang pendidikan sebagai suatu rencana tertulis (dokumen) dan kurikulum sebagai proses (implementasi). Dalam dimensi sebagai rencana tertulis, kurikulum harus mengembangkan SKL menjadi konten kurikulum yang berasal dari prestasi bangsa di masa lalu, kehidupan bangsa masa kini, dan kehidupan bangsa di masa mendatang. Dalam dimensi rencana tertulis, konten kurikulum tersebut dikemas dalam berbagai mata pelajaran sebagai unit organisasi konten terkecil. Dalam setiap mata pelajaran terdapat konten spesifik yaitu pengetahuan dan konten berbagi dengan mata pelajaran lain yaitu sikap dan keterampilan. Secara langsung mata pelajaran menjadi sumber bahan ajar yang spesifik dan berbagi untuk dikembangkan dalam dimensi proses suatu kurikulum.
Kurikulum dalam dimensi proses adalah realisasi ide dan rancangan kurikulum menjadi suatu proses pembelajaran. Guru adalah tenaga kependidikan utama yang mengembangkan ide dan rancangan tersebut menjadi proses pembelajaran. Pemahaman guru tentang kurikulum akan menentukan rancangan guru (Rencana Program Pembelajaran/RPP) dan diterjemahkan ke dalam bentuk kegiatan pembelajaran. Peserta didik berhubungan langsung dengan apa yang dilakukan guru dalam kegiatan pembelajaran dan menjadi pengalaman langsung peserta didik. Apa yang dialami peserta didik akan menjadi hasil belajar pada dirinya dan menjadi hasil kurikulum. Oleh karena itu proses pembelajaran harus memberikan kesempatan yang luas kepada peserta didik untuk mengembangkan potensi dirinya menjadi hasil belajar yang sama atau lebih tinggi dari yang dinyatakan dalam Standar Kompetensi Lulusan.
Kurikulum berbasis kompetensi adalah “outcomes-based curriculum” dan oleh karena itu pengembangan kurikulum diarahkan pada pencapaian kompetensi yang dirumuskan dari SKL. Demikian pula penilaian hasil belajar dan hasil kurikulum diukur dari pencapaian kompetensi. Keberhasilan kurikulum diartikan sebagai pencapaian kompetensi yang dirancang dalam dokumen kurikulum oleh seluruh peserta didik.
2.2.4 Landasan Empiris
Pada saat ini perekonomian Indonesia terus tumbuh di tengah bayang-bayang resesi dunia. Pertumbuhan ekonomi Indonesia dari 2005 sampai dengan 2008 berturut-turut 5,7%, 5,5%, 6,3%, 2008: 6,4% (www.presidenri.go.id/index.php/indikator). Pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun 2012 diperkirakan lebih tinggi dibandingkan pertumbuhan ekonomi negara- negara ASEAN sebesar 6,5 – 6,9 % (Agus D.W. Martowardojo, dalam Rapat Paripurna DPR, 31/05/2012). Momentum pertumbuhan ekonomi ini harus terus dijaga dan ditingkatkan. Generasi muda berjiwa wirausaha yang tangguh, kreatif, ulet, jujur, dan mandiri, sangat diperlukan untuk memantapkan pertumbuhan ekonomi Indonesia di masa depan. Generasi seperti ini seharusnya tidak muncul karena hasil seleksi alam, namun karena hasil gemblengan pada tiap jenjang satuan pendidikan dengan kurikulum sebagai pengarahnya.
Sebagai negara bangsa yang besar dari segi geografis, suku bangsa, potensi ekonomi, dan beragamnya kemajuan pembangunan dari satu daerah ke daerah lain, sekecil apapun ancaman disintegrasi bangsa masih tetap ada. Kurikulum harus mampu membentuk manusia Indonesia yang mampu menyeimbangkan kebutuhan individu dan masyarakat untuk memajukan jatidiri sebagai bagian dari bangsa Indonesia dan kebutuhan untuk berintegrasi sebagai satu entitas bangsa Indonesia.
Dewasa ini, kecenderungan menyelesaikan persoalan dengan kekerasan dan kasus pemaksaan kehendak sering muncul di Indonesia. Kecenderungan ini juga menimpa generasi muda, misalnya pada kasus-kasus perkelahian massal. Walaupun belum ada kajian ilmiah bahwa kekerasan tersebut bersumber dari kurikulum, namun beberapa ahli pendidikan dan tokoh masyarakat menyatakan bahwa salah satu akar masalahnya adalah implementasi kurikulum yang terlalu menekankan aspek kognitif dan keterkungkungan peserta didik di ruang belajarnya dengan kegiatan yang kurang menantang peserta didik. Oleh karena itu, kurikulum perlu direorientasi dan direorganisasi terhadap beban belajar dan kegiatan pembelajaran yang dapat menjawab kebutuhan ini.
Berbagai elemen masyarakat telah memberikan kritikan, komentar, dan saran berkaitan dengan beban belajar siswa, khususnya siswa sekolah dasar. Beban belajar ini bahkan secara kasatmata terwujud pada beratnya beban buku yang harus dibawa ke sekolah. Beban belajar ini salah satunya berhulu dari banyaknya mata pelajaran yang ada di tingkat sekolah dasar. Oleh karena itu kurikulum pada tingkat sekolah dasar perlu diarahkan kepada peningkatan 3 (tiga) kemampuan dasar, yakni baca, tulis, dan hitung serta pembentukan karakter.
Berbagai kasus yang berkaitan dengan penyalahgunaan wewenang, manipulasi, termasuk masih adanya kecurangan di dalam Ujian Nasional/UN menunjukkan mendesaknya upaya menumbuhkan budaya jujur dan antikorupsi melalui kegiatan pembelajaran di dalam satuan pendidikan. Maka kurikulum harus mampu memandu upaya karakterisasi nilai-nilai kejujuran pada peserta didik.
Pada saat ini, upaya pemenuhan kebutuhan manusia telah secara nyata mempengaruhi secara negatif lingkungan alam. Pencemaran, semakin berkurangnya sumber air bersih, adanya potensi rawan pangan pada berbagai belahan dunia, dan pemanasan global merupakan tantangan yang harus dihadapi generasi muda di masa kini dan di masa yang akan datang. Kurikulum seharusnya juga diarahkan untuk membangun kesadaran dan kepedulian generasi muda terhadap lingkungan alam dan menumbuhkan kemampuan untuk merumuskan pemecahan masalah secara kreatif terhadap isu-isu lingkungan dan ketahanan pangan.
Dengan berbagai kemajuan yang telah dicapai, mutu pendidikan Indonesia harus terus ditingkatkan. Hasil studi PISA (Program for International Student Assessment), yaitu studi yang memfokuskan pada literasi bacaan, matematika, dan IPA, menunjukkan peringkat Indonesia baru bisa menduduki 10 besar terbawah dari 65 negara. Hasil studi TIMSS (Trends in International Mathematics and Science Study) menunjukkan siswa Indonesia berada pada ranking amat rendah dalam kemampuan (1) memahami informasi yang komplek, (2) teori, analisis dan pemecahan masalah, (3) pemakaian alat, prosedur dan pemecahan masalah dan (4) melakukan investigasi. Hasil studi ini menunjukkan perlu ada perubahan orientasi kurikulum dengan tidak membebani peserta didik dengan konten namun pada aspek kemampuan esensial yang diperlukan semua warga negara untuk berperanserta dalam membangun negara pada masa mendatang.
2.3 Prinsip-Prinsip Kurikulum
1. Kurikulum satuan pendidikan atau jenjang pendidikan bukan merupakan daftar mata pelajaran. Atas dasar prinsip tersebut maka kurikulum sebagai rencana adalah rancangan untuk konten pendidikan yang harus dimiliki oleh seluruh peserta didik setelah menyelesaikan pendidikannya di satu satuan atau jenjang pendidikan tertentu. Kurikulum sebagai proses adalah totalitas pengalaman belajar peserta didik di satu satuan atau jenjang pendidikan untuk menguasai konten pendidikan yang dirancang dalam rencana. Hasil belajar adalah perilaku peserta didik secara keseluruhan dalam menerapkan perolehannya di masyarakat.
2. Standar kompetensi lulusan ditetapkan untuk satu satuan pendidikan, jenjang pendidikan, dan program pendidikan. Sesuai dengan kebijakan Pemerintah mengenai Wajib Belajar 12 Tahun maka Standar Kompetensi Lulusan yang menjadi dasar pengembangan kurikulum adalah kemampuan yang harus dimiliki peserta didik setelah mengikuti proses pendidikan selama 12 tahun. Selain itu sesuai dengan fungsi dan tujuan jenjang pendidikan dasar dan pendidikan menengah serta fungsi dan tujuan dari masing-masing satuan pendidikan pada setiap jenjang pendidikan maka pengembangan kurikulum didasarkan pula atas Standar Kompetensi Lulusan pendidikan dasar dan pendidikan menengah serta Standar Kompetensi satuan pendidikan.
3. Model kurikulum berbasis kompetensi ditandai oleh pengembangan kompetensi berupa sikap, pengetahuan, keterampilan berpikir, dan keterampilan psikomotorik yang dikemas dalam berbagai mata pelajaran. Kompetensi yang termasuk pengetahuan dikemas secara khusus dalam satu mata pelajaran. Kompetensi yang termasuk sikap dan ketrampilan dikemas dalam setiap mata pelajaran dan bersifat lintas mata pelajaran dan diorganisasikan dengan memperhatikan prinsip penguatan (organisasi horizontal) dan keberlanjutan (organisasi vertikal) sehingga memenuhi prinsip akumulasi dalam pembelajaran.
4. Kurikulum didasarkan pada prinsip bahwa setiap sikap, keterampilan dan pengetahuan yang dirumuskan dalam kurikulum berbentuk Kemampuan Dasar dapat dipelajari dan dikuasai setiap peserta didik (mastery learning) sesuai dengan kaedah kurikulum berbasis kompetensi.
5. Kurikulum dikembangkan dengan memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk mengembangkan perbedaan dalam kemampuan dan minat. Atas dasar prinsip perbedaan kemampuan individual peserta didik, kurikulum memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk memiliki tingkat penguasaan di atas standar yang telah ditentukan (dalam sikap, keterampilan dan pengetahuan). Oleh karena itu beragam program dan pengalaman belajar disediakan sesuai dengan minat dan kemampuan awal peserta didik.
6. Kurikulum berpusat pada potensi, perkembangan, kebutuhan, dan kepentingan peserta didik serta lingkungannya. Kurikulum dikembangkan berdasarkan prinsip bahwa peserta didik berada pada posisi sentral dan aktif dalam belajar.
7. Kurikulum harus tanggap terhadap perkembangan ilmu pengetahuan, budaya, teknologi, dan seni. Kurikulum dikembangkan atas dasar kesadaran bahwa ilmu pengetahuan, budaya, teknologi, dan seni berkembang secara dinamis. Oleh karena itu konten kurikulum harus selalu mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan, budaya, teknologi, dan seni; membangun rasa ingin tahu dan kemampuan bagi peserta didik untuk mengikuti dan memanfaatkan secara tepat hasil-hasil ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni.
8. Kurikulum harus relevan dengan kebutuhan kehidupan. Pendidikan tidak boleh memisahkan peserta didik dari lingkungannya dan pengembangan kurikulum didasarkan kepada prinsip relevansi pendidikan dengan kebutuhan dan lingkungan hidup. Artinya, kurikulum memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk mempelajari permasalahan di lingkungan masyarakatnya sebagai konten kurikulum dan kesempatan untuk mengaplikasikan yang dipelajari di kelas dalam kehidupan di masyarakat.
9. Kurikulum diarahkan kepada proses pengembangan, pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik yang berlangsung sepanjang hayat. Pemberdayaan peserta didik untuk belajar sepanjang hayat dirumuskan dalam sikap, keterampilan, dan pengetahuan dasar yang dapat digunakan untuk mengembangkan budaya belajar.
10. Kurikulum dikembangkan dengan memperhatikan kepentingan nasional dan kepentingan daerah untuk membangun kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Kepentingan nasional dikembangkan melalui penentuan struktur kurikulum, Standar Kemampuan/SK dan Kemampuan Dasar/KD serta silabus. Kepentingan daerah dikembangkan untuk membangun manusia yang tidak tercabut dari akar budayanya dan mampu berkontribusi langsung kepada masyarakat di sekitarnya. Kedua kepentingan ini saling mengisi dan memberdayakan keragaman dan kebersatuan yang dinyatakan dalam Bhinneka Tunggal Ika untuk membangun Negara Kesatuan Republik Indonesia.
11. Penilaian hasil belajar ditujukan untuk mengetahui dan memperbaiki pencapaian kompetensi. Instrumen penilaian hasil belajar adalah alat untuk mengetahui kekurangan yang dimiliki setiap peserta didik atau sekelompok peserta didik. Kekurangan tersebut harus segera diikuti dengan proses perbaikan terhadap kekurangan dalam aspek hasil belajar yang dimiliki seorang atau sekelompok peserta didik.
2.4 Struktrur kurikulum
Beban belajar di SMP untuk Tahun VII, VIII, dan IX masing-masing 38 jam per minggu. Jam belajar SMP adalah 40 menit.
Struktur Kurikulum SMP adalah sebagai berikut:
2.5 Tujuan Kurikulum
Penyelenggaraan pendidikan dasar dan menengah sebagaimana yang dinyatakan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan bertujuan membangun landasan bagi berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang:
1. Beriman dan bertakwa kepada Tuhan YME, berakhlak mulia, dan berkepribadian luhur;
2. berilmu, cakap, kritis, kreatif, dan inovatif;
3. sehat, mandiri, dan percaya diri; dan toleran, peka sosial, demokratis, dan bertanggung jawab
2.6 Posisi mata pelajaran sejarah
Mata pelajaran sejarah terintegrasi ke dalam mata pelajaran ilmu pengetahuan sosial. Di setiap jenjangnya dari kelas VII s/d IX sama-sama memiliki alokasi waktu 4 jam per minggunya.
2.7 Metode pembelajaran kurikulum SMP 2013
PJBL : Pembelajaran Berbasis proyek
PBL : Pembelajaran Berbasis Pemecahan Masalah
Metode Discovery Learning : Pembelajaran Berbasis Penemuan
2.8 Penilaian kurikulum SMP 2013
Penilaian setiap mata pelajaran meliputi kompetensi pengetahuan, kompetensi keterampilan, dan kompetensi sikap. Kompetensi pengetahuan dan kompetensi keterampilan menggunakan skala 1–4 (kelipatan 0.33), yang dapat dikonversi ke dalam Predikat A - D sedangkan kompetensi sikap menggunakan skala Sangat Baik (SB), Baik (B), Cukup (C), dan Kurang (K).
2.9 Kelebihan dan Kelemahan Kurikulum SMP 2013
2.9.1 Kelebihan
1. Siswa dituntut untuk aktif, kreatif dan inovatif dalam pemecahan masalah.
2. Ada pengembangan karakter dan pendidikan budi pekerti yang telah diintegrasikan ke dalam semua program studi.
3. Beberapa kompetensi yang dibutuhkan sesuai dengan perkembangan kebutuhan (misalnya pendidikan karakter, metodologi pembelajaran aktif, keseimbangan soft skills dan hard skills, kewirausahaan).
2.9.2 Kelemahan:
Banyak guru yang beranggapan bahwa dengan kurikulum terbaru ini guru tidak perlu menjelaskan materinya. Padahal kita tahu bahwa belajar matematika, fisika,dll tidak cukup hanya membaca saja.
Langganan:
Komentar (Atom)


