Minggu, 25 Oktober 2015
Link Program Studi Pendidikan Sejarah Unej
Posted by akhirulariyanto on 04.18 with No comments
Kamis, 11 Juni 2015
Analisis Permasalahan dalam Pembelajaran Sejarah
Posted by akhirulariyanto on 18.16 with No comments
Pembelajaran terdiri dari proses belajar dan mengajar. Belajar mengajar sebagai suatu sistem instruksional mengacu kepada pengertian sebagai seperangkat komponen yang saling bergantung satu dengan lainnya dalam mencapai tujuan. Sebagai suatu sistem, belajar mengajar meliputi suatu komponen seperti: tujuan, bahan, siswa, guru, metode, situasi dan evaluasi. Tujuan tersebut dapat tercapai jika semua komponen diorganisasikan sehingga terjadi kerja sama antar-komponen (Syaiful B. Djamarah & Aswan Zain, 1996:10). Menurut Mursell (1975:28), pembelajaran adalah suatu usaha mengordinasikan proses belajar.
Secara sederhana, pembelajaran sejarah diartikan sebagai suatu sistem belajar mengajar sejarah. Pembelajaran sejarah berkaitan dengan teori-teori kesejarahan. Berbeda dengan ilmu sejarah, pembelajaran sejarah atau mata pelajaran sejarah dalam kurikulum sekolah memang tidak secara khusus bertujuan untuk memajukan ilmu atau untuk menelorkan calon ahli sejarah, karena penekanannya dalam pembelajaran sejarah tetap terkait dengan tujuan pendidikan pada umumnya yaitu ikut membangun kepribadian dan sikap mental siswa. Sutrisno Kuntoyo (1985 :46) menyatakan bahwa kesadaran sejarah paling efektif diajarkan melalui pendidikan formal. Hamid Hasan berpendapat, terdapat beberapa pemaknaan terhadap pendidikan sejarah. Pertama, secara tradisional pendidikan sejarah dimaknai sebagai upaya untuk mentransfer kemegahan bangsa di masa lampau kepada generasi muda. Dengan posisi yang demikian maka pendidikan sejarah adalah wahana bagi pewarisan nilai-nilai keunggulan bangsa. Melalui posisi ini pendidikan sejarah ditujukan untuk membangun kebanggaan bangsa dan pelestarian keunggulan tersebut. Kedua, pendidikan sejarah berkenaan dengan upaya memperkenalkan peserta didik terhadap disiplin ilmu sejarah. Oleh karena itu kualitas seperti berpikir kronologis, pemahaman sejarah, kemampuan analisis dan penafsiran sejarah, kemampuan penelitian sejarah, kemampuan analisis isu dan pengambilan keputusan (historical issues-analysis and decision making) menjadi tujuan penting dalam pendidikan sejarah (Hasan Hamid, 2007: 7).
I Gde Widja (1989: 23) menyatakan bahwa pembelajaran sejarah adalah perpaduan antara aktivitas belajar dan mengajar yang di dalamnya mempelajari tentang peristiwa masa lampau yang erat kaitannya dengan masa kini. Pendapat I Gde Widya tersebut dapat disimpulkan jika mata pelajaran sejarah merupakan bidang studi yang terkait dengan fakta-fakta dalam ilmu sejarah namun tetap memperhatikan tujuan pendidikan pada umumnya.
Dalam Seminar Sejarah Nasional di Yogyakarta tahun 1957, Padmopuspito berpendapat bahwapertama, penyusunan pelajaran sejarah harus bersifat ilmiah. Kedua, siswa perlu bimbangan dalam berfikir tetapi tafsiran dan penilaian tidak boleh dipaksakan, karena dapat mematikan daya pikir siswa (Sidi Gasalba, 1966:169). Dalam bidang pembelajaran sejarah, terdapat tiga faktor yang harus dipahami tentang materi sejarah. Pertama, hakekat fakta sejarah. Kedua, hakekat penjelasan dalam sejarah. Ketiga,masalah obyektivitas sejarah (Burston dalam Haryono, 1995:12).
Peran pendidikan sejarah dalam pembentukan sikap nasionalisme guna mengantisipasi tantangan global dan berbagai gejolak disintegrasi yang melanda Indonesia akhir-akhir ini sangat dibutuhkan, hal ini mengingat pengalaman sejarah membuktikan sikap nasionalisme mampu membangkitkan dinamika sosial di masa lalu.
Sikap nasionalisme yang dimiliki rakyat indonesia telah mampu menghantarkan bangsa menuju kemerdekaan di tengah keterbelakangan pengetahuan rakyat indonesia dan kuatnya persenjataan penjajah, dalam kontek saat itu. Namun saat ini nasionalisme yang dimiliki bangsa menunjukkan kerapuhan. konflik antar suku dan agama karena perbedaan nilai, dan upaya beberapa daerah yang ingin memisahkan diri dari Negar Kesatua Republik Indonesia merupakan bukti bahwa kesatuan nasional masih rapuh (Ibnu Hizam:2007:288)
Dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 22 tahun 2006 tentang Standar Isi yang tercantum dalam lampiran Peraturan Menteri, untuk satuan pendidikan dasar dan menengah dijelaskan terkait materi dan tujuan dari pembelajaran sejarah maka mata pelajaran Sejarah memiliki arti strategis dalam pembentukan watak dan peradaban bangsa yang bermartabat serta dalam pembentukan manusia Indonesia yang memiliki rasa kebangsaan dan cinta tanah air. Secara umum materi sejarah:
(1) mengandung nilai-nilai kepahlawanan, keteladanan, kepeloporan, patriotisme, nasionalisme, dan semangat pantang menyerah yang mendasari proses pembentukan watak dan kepribadian peserta didik;
(2) memuat khasanah mengenai peradaban bangsa-bangsa, termasuk peradaban bangsa Indonesia. Materi tersebut merupakan bahan pendidikan yang mendasar bagi proses pembentukan dan penciptaan peradaban bangsa Indonesia di masa depan;
(3) menanamkan kesadaran persatuan dan persaudaraan serta solidaritas untuk menjadi perekat bangsa dalam menghadapi ancaman disintegrasi bangsa;
(4) sarat dengan ajaran moral dan kearifan yang berguna dalam mengatasi krisis multidimensi yang dihadapi dalam kehidupan sehari-hari;
(5) berguna untuk menanamkan dan mengembangkan sikap bertanggung jawab dalam memelihara keseimbangan dan kelestarian lingkungan hidup
Atas dasar hal tersebut, maka sejarah diberikan kepada seluruh siswa di sekolah dari tingkat dasar (SD dan sederajat) sampai tingkat menengah (SMA dan sederajat) dalam bentuk mata pelajaran. Kedudukannya yang penting dan strategis dalam pembangunan watak bangsa merupakan fungsi yang tidak bisa digantikan oleh mata pelajaran lainnya. Meskipun demikian, terkait dengan materi sejarah dri tingkat dasar sampai menengah, Taufik Abdullah berpendapat agar siswa tidak bosan menerima materi sejarah, maka jika secara faktual yang disampaikan sama namun dalam setiap jenjang pendidikan, peristiwa tersebut akan tampil pada tingkat pengetahuan, pemahaman, serta pemberian keterangan sejarah yang semakin tinggi dan kompleks. Dengan demikian, setiap tingkatan atau tahap diharapkan bisa memberikan kesegaran dan kematangan intelektual (Taufik Abdullah, 1996: 10).
Dari pandangan di atas, dapat disimpulkan bahwa pembelajaran sejarah tidak mengkhususkan mempelajari fakta-fakta dalam sejarah sebagai ilmu namun perpaduan antara sejarah dan tujuan pendidikan pada umumnya. Meski demikian, pembelajaran sejarah berusaha menampilkan fakta sejarah secara obyektif meskipun tetap dalam kerangka fakta sejarah yang sesuai dengan tujuan pendidikan itu sendiri.
2.2 Kendala-Kenda dalam Pembelajaran Sejarah
Pembelajaran sejarah di sekolah sering kali dianggap tidak menarik. Hal ini dapat dilihat dari hasil jajak pendapat Kompas tentang kendala pembelajaran sejarah di sekolah. Model pembelajaran yang konvensional menjadi faktor utama yang membuat pembelajaran sejarah di sekolah tidak menarik.
Pelajaran sejarah di sekolah, sering dianggap sebagai pelajaran hafalan dan membosankan. Pembelajaran ini dianggap tidak lebih dari rangkaian angka tahun dan urutan peristiwa yang harus diingat kemudian diungkap kembali saat menjawab soal-soal ujian. Kenyataan ini tidak dapat dipungkiri, karena masih terjadi sampai sekarang. Salah satu faktor yang menyebabkan pelajaran sejarah terasa membosankan dan kurang disukai oleh anak sekolah adalah metode yang digunakan kebanyakan guru sejarah. YR Subakti mengatakan “Mata pelajaran sejarah diajarkan dengan satu metode andalan 'ceramah'.... Akibatnya sejarah identik dengan ceramah, seolah-olah pembelajaran sejarah mentabukan inovasi dalam desain pembelajaran.” Hal senada juga diungkapkan oleh Baskoro T. Wardaya, “Menurut saya pembelajaran sejarah itu diajarkan dengan cara yang kreatif dan imanjinatif, kreatif dalam arti tidak satu cara yang dipakai, dulu kan model ceramah.” Selain faktor pengajar, YR Subakti juga menyebutkan 3 komponen lain yang menjadi penyebab munculnya masalah dalam pembelajaran sejarah yaitu (1) Metode pembelajaran sejarah pada umumnya kurang menantang daya intelektual peserta didik; (2) Peserta didik yang kurang positif terhadap pembelajaran sejarah; dan (3) Buku-buku sejarah dan media pembelajaran sejarah yang masih terbatas.
Dari data nilai yang diperoleh dari SMPN 19 Surabaya, terlihat bahwa rata-rata nilai mata pelajaran IPS terpadu memang masih kurang optimal. Di sisi lain, ratarata nilai pelajaran IPA yang terkenal lebih sulit malah mampu menduduki urutan pertama dengan rata-rata 82,58. Sedangkan rata-rata nilai IPS hanya 79,75 dan berada di urutan ke empat. Pelajaran sejarah merupakan bagian dari mata pelajaran IPS terpadu. Selain sejarah, dalam IPS terpadu terdapat juga pelajaran ekonomi dan geografi. Dan menurut pengakuan guru sejarah dan murid, memang nilai ketiga mata pelajaran tersebut tidak jauh berbeda.7 Dari sini terlihat bahwa proses pembelajaran sejarah yang berlangsung masih kurang optimal dan masih bisa ditingkatkan kembali. Salah satu penyebab kurang optimalnya pembelajaran sejarah di sekolah adalah media pembelajarannya.
Berikut ini beberapa permasalahan yang dihadapi dalam proses pembelajaran sejarah :
1) Pelajaran sejarah dianggap sebagai pelajaran yang membosankan. Metode yang digunakan guru sejarah pada umumnya yaitu „ceramah‟ dirasa membosankan.
2) Media pembelajaran sejarah yang biasa digunakan di sekolah (buku pelajaran) dirasa masih kurang menarik dan tidak mudah dipahami oleh siswa, penyebabnya antara lain adalah layout buku yang kaku, lebih banyak teks daripada gambar, serta gambar yang disajikan kurang jelas dan sebagian tidak berwarna (monotone).
3) Teknik penyampaian materi pada buku-buku pelajaran sejarah yang ada sekarang hanya satu arah dirasa kurang menarik dan sulit di pahami oleh siswa. Membuat siswa kesulitan mengingat materi yang berisikan peristiwa-peristiwa sejarah, tahun-tahun penting kejadian, dan tokoh-tokoh yang terdapat pada peristiwa tersebut.
2.3 Solusi Permasalahan yang Dapat Dilakukan untuk Menangani Kendala dalam Pembelajaran Sejarah
Salah satu metode pembelajaran sejarah yang cocok untuk menjadikan mahasiswa aktif dan dosen sebagai fasilitatornya adalah kontruktivisme dan inquiry. Kontruktivisme adalah bahwa pengetahuan dibangun oleh manusia sedikit demi sedikit, yang hasilnya diperluas melalui konteks yang terbatas (Anggara, 2007:104). Pembelajaran sejarah kontruktivisme berkaitan dengan pembelajaran yang berhubungan dengan masalah-masalah yang dihadapi oleh mahasiswa dalam kehidupan sehari-hari di kelas. Metode inquiry juga sesuai dalam pembelajaran sejarah. Pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh siswa diharapkan bukan hasil mengingat seperangkat fakta-fakta, tetapi hasil dari menemukan sendiri.
Siswa merasa pelajaran sejarah akan lebih menarik jika disampaikan dengan menggunakan teks dan animasi interaktif. Sedangkan untuk media yang paling menarik sebagai media pembelajaran sejarah adalah film dan media interaktif.
Film memang merupakan sebuah media yang sangat mampu menyampaikan pesan atau materi yang menarik dan dipahami dengan mudah oleh siswa, akan tetapi biaya yang tinggi dan durasi film yang pendek (sekitar 1-2 jam) menjadikan materi yang dapat disampaikan dalam film hanya sebagian kecil dari kurikulum yang telah ditetapkan. Berbeda dengan film, dalam media interaktif dapat disajikan materi yang lebih banyak. Serta siswa dapat aktif berinteraksi dengan materi dan soal-soal yang diberikan.
Media interaktif memungkinkan siswa belajar sesuai dengan kemampuan dan kecepatannya dalam memahami pengetahuan dan informasi yang disampaikan. Penggunaan komputer dalam proses belajar membuat mahasiswa dapat melakukan kontrol terhadap aktivitas belajarnya. Kemampuan komputer untuk menayangkan kembali informasi yang diperlukan oleh pemakainya, yang diistilahkan dengan dapat membantu mahasiswa yang memiliki kecepatan belajar lambat. Dengan kata lain, media interaktif dapat menciptakan iklim belajar yang efektif bagi mahasiswa yang lambat (slow learner), tetapi juga dapat memacu efektivitas belajar bagi mahasiswa yang lebih cepat (fast learner). Di samping itu, media interaktif dapat diprogram agar mampu memberikan umpan balik terhadap hasil belajar sehingga siswa dapat langsung mengetahui benar atau salahnya jawaban, sekaligus mengukur tingkat pemahamannya terhadap materi. Kelebihan lain dari media interaktif adalah kemampuan dalam mengintegrasikan gambar, teks, suara, dan animasi, sehingga membuat proses pembelajaran sejarah menjadi lebih menarik dan materi yang disampaikan dapat lebih mudah dicerna.
Rabu, 03 Juni 2015
Resume Kurikulum 2013 Jenjang SMP
Posted by akhirulariyanto on 20.14 with No comments
2.1 Lahirnya Kurikulum
Kurikulum adalah perangkat mata pelajaran dan program pendidikan yang diberikan oleh suatu lembaga penyelenggara pendidikan yang berisi rancangan pelajaran yang akan diberikan kepada peserta pelajaran dalam satu periode jenjang pendidikan. Penyusunan perangkat mata pelajaran ini disesuaikan dengan keadaan dan kemampuan setiap jenjang pendidikan dalam penyelenggaraan pendidikan tersebut serta kebutuhan lapangan kerja.
Lama waktu dalam satu kurikulum biasanya disesuaikan dengan maksud dan tujuan dari sistem pendidikan yang dilaksanakan. Kurikulum ini dimaksudkan untuk dapat mengarahkan pendidikan menuju arah dan tujuan yang dimaksudkan dalam kegiatan pembelajaran secara menyeluruh.
Berdasarkan pengertian kurikulum dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, ada dua dimensi kurikulum, yang pertama adalah rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran, sedangkan yang kedua adalah cara yang digunakan untuk kegiatan pembelajaran. Kurikulum 2013 yang diberlakukan mulai tahun ajaran 2013/2014 memenuhi kedua dimensi tersebut.
2.2 Landasan kurikulum
2.2.1 Landasan Yuridis
Secara konseptual, kurikulum adalah suatu respon pendidikan terhadap kebutuhan masyarakat dan bangsa dalam membangun generasi muda bangsanya. Secara pedagogis, kurikulum adalah rancangan pendidikan yang memberi kesempatan untuk peserta didik mengembangkan potensi dirinya dalam suatu suasana belajar yang menyenangkan dan sesuai dengan kemampuan dirinya untuk memiliki kualitas yang diinginkan masyarakat dan bangsanya. Secara yuridis, kurikulum adalah suatu kebijakan publik yang didasarkan kepada dasar filosofis bangsa dan keputusan yuridis di bidang pendidikan.
Landasan yuridis kurikulum adalah Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945, Undang-undang nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Peraturan Pemerintah nomor 19 tahun 2005, dan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional nomor 23 tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan dan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional nomor 22 tahun 2006 tentang Standar Isi.
2.2.2 Landasan Filosofis
Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa (UU RI nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional). Untuk mengembangkan dan membentuk watak dan peradaban bangsa yang bermartabat, pendidikan berfungsi mengembangkan segenap potensi peserta didik “menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warganegara yang demokratis serta bertanggungjawab” (UU RI nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional).
Berdasarkan fungsi dan tujuan pendidikan nasional maka pengembangan kurikulum haruslah berakar pada budaya bangsa, kehidupan bangsa masa kini, dan kehidupan bangsa di masa mendatang.
Pendidikan berakar pada budaya bangsa. Proses pendidikan adalah suatu proses pengembangan potensi peserta didik sehingga mereka mampu menjadi pewaris dan pengembang budaya bangsa. Melalui pendidikan berbagai nilai dan keunggulan budaya di masa lampau diperkenalkan, dikaji, dan dikembangkan menjadi budaya dirinya, masyarakat, dan bangsa yang sesuai dengan zaman dimana peserta didik tersebut hidup dan mengembangkan diri. Kemampuan menjadi pewaris dan pengembang budaya tersebut akan dimiliki peserta didik apabila pengetahuan, kemampuan intelektual, sikap dan kebiasaan, keterampilan sosial memberikan dasar untuk secara aktif mengembangkan dirinya sebagai individu, anggota masyarakat, warganegara, dan anggota umat manusia.
Pendidikan juga harus memberikan dasar bagi keberlanjutan kehidupan bangsa dengan segala aspek kehidupan bangsa yang mencerminkan karakter bangsa masa kini. Oleh karena itu, konten pendidikan yang mereka pelajari tidak semata berupa prestasi besar bangsa di masa lalu tetapi juga hal-hal yang berkembang pada saat kini dan akan berkelanjutan ke masa mendatang. Berbagai perkembangan baru dalam ilmu, teknologi, budaya, ekonomi, sosial, politik yang dihadapi masyarakat, bangsa dan umat manusia dikemas sebagai konten pendidikan. Konten pendidikan dari kehidupan bangsa masa kini memberi landasan bagi pendidikan untuk selalu terkait dengan kehidupan masyarakat dalam berbagai aspek kehidupan, kemampuan berpartisipasi dalam membangun kehidupan bangsa yang lebih baik, dan memosisikan pendidikan yang tidak terlepas dari lingkungan sosial, budaya, dan alam. Lagipula, konten pendidikan dari kehidupan bangsa masa kini akan memberi makna yang lebih berarti bagi keunggulan budaya bangsa di masa lalu untuk digunakan dan dikembangkan sebagai bagian dari kehidupan masa kini.
Peserta didik yang mengikuti pendidikan masa kini akan menggunakan apa yang diperolehnya dari pendidikan ketika mereka telah menyelesaikan pendidikan 12 tahun dan berpartisipasi penuh sebagai warganegara. Atas dasar pikiran itu maka konten pendidikan yang dikembangkan dari warisan budaya dan kehidupan masa kini perlu diarahkan untuk memberi kemampuan bagi peserta didik menggunakannya bagi kehidupan masa depan terutama masa dimana dia telah menyelesaikan pendidikan formalnya. Dengan demikian sikap, keterampilan dan pengetahuan yang menjadi konten pendidikan harus dapat digunakan untuk kehidupan paling tidak satu sampai dua dekade dari sekarang. Artinya, konten pendidikan yang dirumuskan dalam Standar Kompetensi Lulusan dan dikembangkan dalam kurikulum harus menjadi dasar bagi peserta didik untuk dikembangkan dan disesuaikan dengan kehidupan mereka sebagai pribadi, anggota masyarakat, dan warganegara yang produktif serta bertanggungjawab di masa mendatang.
2.2.3 Landasan Teoritis
Kurikulum dikembangkan atas dasar teori pendidikan berdasarkan standar dan teori pendidikan berbasis kompetensi. Pendidikan berdasarkan standar adalah pendidikan yang menetapkan standar nasional sebagai kualitas minimal hasil belajar yang berlaku untuk setiap kurikulum. Standar kualitas nasional dinyatakan sebagai Standar Kompetensi Lulusan. Standar Kompetensi Lulusan tersebut adalah kualitas minimal lulusan suatu jenjang atau satuan pendidikan. Standar Kompetensi Lulusan mencakup sikap, pengetahuan, dan keterampilan (PP nomor 19 tahun 2005).
Standar Kompetensi Lulusan dikembangkan menjadi Standar Kompetensi Lulusan Satuan Pendidikan yaitu SKL SD, SMP, SMA, SMK. Standar Kompetensi Lulusan satuan pendidikan berisikan 3 (tiga) komponen yaitu kemampuan proses, konten, dan ruang lingkup penerapan komponen proses dan konten. Komponen proses adalah kemampuan minimal untuk mengkaji dan memproses konten menjadi kompetensi. Komponen konten adalah dimensi kemampuan yang menjadi sosok manusia yang dihasilkan dari pendidikan. Komponen ruang lingkup adalah keluasan lingkungan minimal dimana kompetensi tersebut digunakan, dan menunjukkan gradasi antara satu satuan pendidikan dengan satuan pendidikan di atasnya serta jalur satuan pendidikan khusus (SMK, SDLB, SMPLB, SMALB).
Kompetensi adalah kemampuan seseorang untuk bersikap, menggunakan pengetahuan dan keterampilan untuk melaksanakan suatu tugas di sekolah, masyarakat, dan lingkungan dimana yang bersangkutan berinteraksi. Kurikulum dirancang untuk memberikan pengalaman belajar seluas-luasnya bagi peserta didik untuk mengembangkan sikap, keterampilan dan pengetahuan yang diperlukan untuk membangun kemampuan tersebut. Hasil dari pengalaman belajar tersebut adalah hasil belajar peserta didik yang menggambarkan manusia dengan kualitas yang dinyatakan dalam SKL.
Kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu (UU nomor 20 tahun 2003; PP nomor 19 tahun 2005). Kurikulum berbasis kompetensi adalah kurikulum yang dirancang baik dalam bentuk dokumen, proses, maupun penilaian didasarkan pada pencapaian tujuan, konten dan bahan pelajaran serta penyelenggaraan pembelajaran yang didasarkan pada Standar Kompetensi Lulusan.
Konten pendidikan dalam SKL dikembangkan dalam bentuk kurikulum satuan pendidikan dan jenjang pendidikan sebagai suatu rencana tertulis (dokumen) dan kurikulum sebagai proses (implementasi). Dalam dimensi sebagai rencana tertulis, kurikulum harus mengembangkan SKL menjadi konten kurikulum yang berasal dari prestasi bangsa di masa lalu, kehidupan bangsa masa kini, dan kehidupan bangsa di masa mendatang. Dalam dimensi rencana tertulis, konten kurikulum tersebut dikemas dalam berbagai mata pelajaran sebagai unit organisasi konten terkecil. Dalam setiap mata pelajaran terdapat konten spesifik yaitu pengetahuan dan konten berbagi dengan mata pelajaran lain yaitu sikap dan keterampilan. Secara langsung mata pelajaran menjadi sumber bahan ajar yang spesifik dan berbagi untuk dikembangkan dalam dimensi proses suatu kurikulum.
Kurikulum dalam dimensi proses adalah realisasi ide dan rancangan kurikulum menjadi suatu proses pembelajaran. Guru adalah tenaga kependidikan utama yang mengembangkan ide dan rancangan tersebut menjadi proses pembelajaran. Pemahaman guru tentang kurikulum akan menentukan rancangan guru (Rencana Program Pembelajaran/RPP) dan diterjemahkan ke dalam bentuk kegiatan pembelajaran. Peserta didik berhubungan langsung dengan apa yang dilakukan guru dalam kegiatan pembelajaran dan menjadi pengalaman langsung peserta didik. Apa yang dialami peserta didik akan menjadi hasil belajar pada dirinya dan menjadi hasil kurikulum. Oleh karena itu proses pembelajaran harus memberikan kesempatan yang luas kepada peserta didik untuk mengembangkan potensi dirinya menjadi hasil belajar yang sama atau lebih tinggi dari yang dinyatakan dalam Standar Kompetensi Lulusan.
Kurikulum berbasis kompetensi adalah “outcomes-based curriculum” dan oleh karena itu pengembangan kurikulum diarahkan pada pencapaian kompetensi yang dirumuskan dari SKL. Demikian pula penilaian hasil belajar dan hasil kurikulum diukur dari pencapaian kompetensi. Keberhasilan kurikulum diartikan sebagai pencapaian kompetensi yang dirancang dalam dokumen kurikulum oleh seluruh peserta didik.
2.2.4 Landasan Empiris
Pada saat ini perekonomian Indonesia terus tumbuh di tengah bayang-bayang resesi dunia. Pertumbuhan ekonomi Indonesia dari 2005 sampai dengan 2008 berturut-turut 5,7%, 5,5%, 6,3%, 2008: 6,4% (www.presidenri.go.id/index.php/indikator). Pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun 2012 diperkirakan lebih tinggi dibandingkan pertumbuhan ekonomi negara- negara ASEAN sebesar 6,5 – 6,9 % (Agus D.W. Martowardojo, dalam Rapat Paripurna DPR, 31/05/2012). Momentum pertumbuhan ekonomi ini harus terus dijaga dan ditingkatkan. Generasi muda berjiwa wirausaha yang tangguh, kreatif, ulet, jujur, dan mandiri, sangat diperlukan untuk memantapkan pertumbuhan ekonomi Indonesia di masa depan. Generasi seperti ini seharusnya tidak muncul karena hasil seleksi alam, namun karena hasil gemblengan pada tiap jenjang satuan pendidikan dengan kurikulum sebagai pengarahnya.
Sebagai negara bangsa yang besar dari segi geografis, suku bangsa, potensi ekonomi, dan beragamnya kemajuan pembangunan dari satu daerah ke daerah lain, sekecil apapun ancaman disintegrasi bangsa masih tetap ada. Kurikulum harus mampu membentuk manusia Indonesia yang mampu menyeimbangkan kebutuhan individu dan masyarakat untuk memajukan jatidiri sebagai bagian dari bangsa Indonesia dan kebutuhan untuk berintegrasi sebagai satu entitas bangsa Indonesia.
Dewasa ini, kecenderungan menyelesaikan persoalan dengan kekerasan dan kasus pemaksaan kehendak sering muncul di Indonesia. Kecenderungan ini juga menimpa generasi muda, misalnya pada kasus-kasus perkelahian massal. Walaupun belum ada kajian ilmiah bahwa kekerasan tersebut bersumber dari kurikulum, namun beberapa ahli pendidikan dan tokoh masyarakat menyatakan bahwa salah satu akar masalahnya adalah implementasi kurikulum yang terlalu menekankan aspek kognitif dan keterkungkungan peserta didik di ruang belajarnya dengan kegiatan yang kurang menantang peserta didik. Oleh karena itu, kurikulum perlu direorientasi dan direorganisasi terhadap beban belajar dan kegiatan pembelajaran yang dapat menjawab kebutuhan ini.
Berbagai elemen masyarakat telah memberikan kritikan, komentar, dan saran berkaitan dengan beban belajar siswa, khususnya siswa sekolah dasar. Beban belajar ini bahkan secara kasatmata terwujud pada beratnya beban buku yang harus dibawa ke sekolah. Beban belajar ini salah satunya berhulu dari banyaknya mata pelajaran yang ada di tingkat sekolah dasar. Oleh karena itu kurikulum pada tingkat sekolah dasar perlu diarahkan kepada peningkatan 3 (tiga) kemampuan dasar, yakni baca, tulis, dan hitung serta pembentukan karakter.
Berbagai kasus yang berkaitan dengan penyalahgunaan wewenang, manipulasi, termasuk masih adanya kecurangan di dalam Ujian Nasional/UN menunjukkan mendesaknya upaya menumbuhkan budaya jujur dan antikorupsi melalui kegiatan pembelajaran di dalam satuan pendidikan. Maka kurikulum harus mampu memandu upaya karakterisasi nilai-nilai kejujuran pada peserta didik.
Pada saat ini, upaya pemenuhan kebutuhan manusia telah secara nyata mempengaruhi secara negatif lingkungan alam. Pencemaran, semakin berkurangnya sumber air bersih, adanya potensi rawan pangan pada berbagai belahan dunia, dan pemanasan global merupakan tantangan yang harus dihadapi generasi muda di masa kini dan di masa yang akan datang. Kurikulum seharusnya juga diarahkan untuk membangun kesadaran dan kepedulian generasi muda terhadap lingkungan alam dan menumbuhkan kemampuan untuk merumuskan pemecahan masalah secara kreatif terhadap isu-isu lingkungan dan ketahanan pangan.
Dengan berbagai kemajuan yang telah dicapai, mutu pendidikan Indonesia harus terus ditingkatkan. Hasil studi PISA (Program for International Student Assessment), yaitu studi yang memfokuskan pada literasi bacaan, matematika, dan IPA, menunjukkan peringkat Indonesia baru bisa menduduki 10 besar terbawah dari 65 negara. Hasil studi TIMSS (Trends in International Mathematics and Science Study) menunjukkan siswa Indonesia berada pada ranking amat rendah dalam kemampuan (1) memahami informasi yang komplek, (2) teori, analisis dan pemecahan masalah, (3) pemakaian alat, prosedur dan pemecahan masalah dan (4) melakukan investigasi. Hasil studi ini menunjukkan perlu ada perubahan orientasi kurikulum dengan tidak membebani peserta didik dengan konten namun pada aspek kemampuan esensial yang diperlukan semua warga negara untuk berperanserta dalam membangun negara pada masa mendatang.
2.3 Prinsip-Prinsip Kurikulum
1. Kurikulum satuan pendidikan atau jenjang pendidikan bukan merupakan daftar mata pelajaran. Atas dasar prinsip tersebut maka kurikulum sebagai rencana adalah rancangan untuk konten pendidikan yang harus dimiliki oleh seluruh peserta didik setelah menyelesaikan pendidikannya di satu satuan atau jenjang pendidikan tertentu. Kurikulum sebagai proses adalah totalitas pengalaman belajar peserta didik di satu satuan atau jenjang pendidikan untuk menguasai konten pendidikan yang dirancang dalam rencana. Hasil belajar adalah perilaku peserta didik secara keseluruhan dalam menerapkan perolehannya di masyarakat.
2. Standar kompetensi lulusan ditetapkan untuk satu satuan pendidikan, jenjang pendidikan, dan program pendidikan. Sesuai dengan kebijakan Pemerintah mengenai Wajib Belajar 12 Tahun maka Standar Kompetensi Lulusan yang menjadi dasar pengembangan kurikulum adalah kemampuan yang harus dimiliki peserta didik setelah mengikuti proses pendidikan selama 12 tahun. Selain itu sesuai dengan fungsi dan tujuan jenjang pendidikan dasar dan pendidikan menengah serta fungsi dan tujuan dari masing-masing satuan pendidikan pada setiap jenjang pendidikan maka pengembangan kurikulum didasarkan pula atas Standar Kompetensi Lulusan pendidikan dasar dan pendidikan menengah serta Standar Kompetensi satuan pendidikan.
3. Model kurikulum berbasis kompetensi ditandai oleh pengembangan kompetensi berupa sikap, pengetahuan, keterampilan berpikir, dan keterampilan psikomotorik yang dikemas dalam berbagai mata pelajaran. Kompetensi yang termasuk pengetahuan dikemas secara khusus dalam satu mata pelajaran. Kompetensi yang termasuk sikap dan ketrampilan dikemas dalam setiap mata pelajaran dan bersifat lintas mata pelajaran dan diorganisasikan dengan memperhatikan prinsip penguatan (organisasi horizontal) dan keberlanjutan (organisasi vertikal) sehingga memenuhi prinsip akumulasi dalam pembelajaran.
4. Kurikulum didasarkan pada prinsip bahwa setiap sikap, keterampilan dan pengetahuan yang dirumuskan dalam kurikulum berbentuk Kemampuan Dasar dapat dipelajari dan dikuasai setiap peserta didik (mastery learning) sesuai dengan kaedah kurikulum berbasis kompetensi.
5. Kurikulum dikembangkan dengan memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk mengembangkan perbedaan dalam kemampuan dan minat. Atas dasar prinsip perbedaan kemampuan individual peserta didik, kurikulum memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk memiliki tingkat penguasaan di atas standar yang telah ditentukan (dalam sikap, keterampilan dan pengetahuan). Oleh karena itu beragam program dan pengalaman belajar disediakan sesuai dengan minat dan kemampuan awal peserta didik.
6. Kurikulum berpusat pada potensi, perkembangan, kebutuhan, dan kepentingan peserta didik serta lingkungannya. Kurikulum dikembangkan berdasarkan prinsip bahwa peserta didik berada pada posisi sentral dan aktif dalam belajar.
7. Kurikulum harus tanggap terhadap perkembangan ilmu pengetahuan, budaya, teknologi, dan seni. Kurikulum dikembangkan atas dasar kesadaran bahwa ilmu pengetahuan, budaya, teknologi, dan seni berkembang secara dinamis. Oleh karena itu konten kurikulum harus selalu mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan, budaya, teknologi, dan seni; membangun rasa ingin tahu dan kemampuan bagi peserta didik untuk mengikuti dan memanfaatkan secara tepat hasil-hasil ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni.
8. Kurikulum harus relevan dengan kebutuhan kehidupan. Pendidikan tidak boleh memisahkan peserta didik dari lingkungannya dan pengembangan kurikulum didasarkan kepada prinsip relevansi pendidikan dengan kebutuhan dan lingkungan hidup. Artinya, kurikulum memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk mempelajari permasalahan di lingkungan masyarakatnya sebagai konten kurikulum dan kesempatan untuk mengaplikasikan yang dipelajari di kelas dalam kehidupan di masyarakat.
9. Kurikulum diarahkan kepada proses pengembangan, pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik yang berlangsung sepanjang hayat. Pemberdayaan peserta didik untuk belajar sepanjang hayat dirumuskan dalam sikap, keterampilan, dan pengetahuan dasar yang dapat digunakan untuk mengembangkan budaya belajar.
10. Kurikulum dikembangkan dengan memperhatikan kepentingan nasional dan kepentingan daerah untuk membangun kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Kepentingan nasional dikembangkan melalui penentuan struktur kurikulum, Standar Kemampuan/SK dan Kemampuan Dasar/KD serta silabus. Kepentingan daerah dikembangkan untuk membangun manusia yang tidak tercabut dari akar budayanya dan mampu berkontribusi langsung kepada masyarakat di sekitarnya. Kedua kepentingan ini saling mengisi dan memberdayakan keragaman dan kebersatuan yang dinyatakan dalam Bhinneka Tunggal Ika untuk membangun Negara Kesatuan Republik Indonesia.
11. Penilaian hasil belajar ditujukan untuk mengetahui dan memperbaiki pencapaian kompetensi. Instrumen penilaian hasil belajar adalah alat untuk mengetahui kekurangan yang dimiliki setiap peserta didik atau sekelompok peserta didik. Kekurangan tersebut harus segera diikuti dengan proses perbaikan terhadap kekurangan dalam aspek hasil belajar yang dimiliki seorang atau sekelompok peserta didik.
2.4 Struktrur kurikulum
Beban belajar di SMP untuk Tahun VII, VIII, dan IX masing-masing 38 jam per minggu. Jam belajar SMP adalah 40 menit.
Struktur Kurikulum SMP adalah sebagai berikut:
2.5 Tujuan Kurikulum
Penyelenggaraan pendidikan dasar dan menengah sebagaimana yang dinyatakan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan bertujuan membangun landasan bagi berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang:
1. Beriman dan bertakwa kepada Tuhan YME, berakhlak mulia, dan berkepribadian luhur;
2. berilmu, cakap, kritis, kreatif, dan inovatif;
3. sehat, mandiri, dan percaya diri; dan toleran, peka sosial, demokratis, dan bertanggung jawab
2.6 Posisi mata pelajaran sejarah
Mata pelajaran sejarah terintegrasi ke dalam mata pelajaran ilmu pengetahuan sosial. Di setiap jenjangnya dari kelas VII s/d IX sama-sama memiliki alokasi waktu 4 jam per minggunya.
2.7 Metode pembelajaran kurikulum SMP 2013
PJBL : Pembelajaran Berbasis proyek
PBL : Pembelajaran Berbasis Pemecahan Masalah
Metode Discovery Learning : Pembelajaran Berbasis Penemuan
2.8 Penilaian kurikulum SMP 2013
Penilaian setiap mata pelajaran meliputi kompetensi pengetahuan, kompetensi keterampilan, dan kompetensi sikap. Kompetensi pengetahuan dan kompetensi keterampilan menggunakan skala 1–4 (kelipatan 0.33), yang dapat dikonversi ke dalam Predikat A - D sedangkan kompetensi sikap menggunakan skala Sangat Baik (SB), Baik (B), Cukup (C), dan Kurang (K).
2.9 Kelebihan dan Kelemahan Kurikulum SMP 2013
2.9.1 Kelebihan
1. Siswa dituntut untuk aktif, kreatif dan inovatif dalam pemecahan masalah.
2. Ada pengembangan karakter dan pendidikan budi pekerti yang telah diintegrasikan ke dalam semua program studi.
3. Beberapa kompetensi yang dibutuhkan sesuai dengan perkembangan kebutuhan (misalnya pendidikan karakter, metodologi pembelajaran aktif, keseimbangan soft skills dan hard skills, kewirausahaan).
2.9.2 Kelemahan:
Banyak guru yang beranggapan bahwa dengan kurikulum terbaru ini guru tidak perlu menjelaskan materinya. Padahal kita tahu bahwa belajar matematika, fisika,dll tidak cukup hanya membaca saja.
Selasa, 19 Mei 2015
RESENSI BUKU
Posted by akhirulariyanto on 22.56 with No comments
TINJAUAN
BUKU KECERDASAN EMOSIONAL
(EMOTIONAL
INTELLEGENCE)
Oleh : Akhirul Ariyanto (140210302064)
IDENTITAS
BUKU
Judul Buku : Emotional Intellegence
Pengarang : Daniel Goleman
Penerbit : PT. Gramedia Pustaka Utama
Ukuran : 15 X 23 cm
BIOGRAFI
PENULIS
Daniel
Goleman, Ph.D., adalah CEO Emotional Intelligence Services di Sudbury,
Massachusetts. Selama dua belas tahun ia meliput ilmu-ilmu otak dan tingkah
laku bagi The New York Times, dan juga mangajar di Harvard (tempat ia meraih
gelar doktornya). Selain Emotional Intelligence, buku-bukunya yang sudah terbit
antara lain:
1.Vital Lies, Simple Truths The Meditative Mind
1.Vital Lies, Simple Truths The Meditative Mind
2.
The Creative Spirit, sebagai co-author
Ini adalah buku yang menggemparkan
sidang pembaca dan yang mendefinisikan ulang apa arti cerdas. Buku karangan
Daniel Goleman Penerbit Gramedia telah mendapat sambutan luar biasa dari
pembaca sehingga telah beberapa kali mengalami cetak ulang. Buku ini terdiri
atas 5 bagian 16 bab. Kelima bagian itu adalah I. Otak Emosional. II Ciri-ciri
Kecerdasan Emosional III. Penerapan Kecerdasan Emosional IV. Kesempatan Emas V.
Kecakapan Emosional.
Bab 1 berjudul “Apakah Kegunaan
Emosi?”. Homo humini lupus adalah tidak hanya berarti bahwa manusia
berpikir tetapi juga manusia juga beremosi. Semua emosi, pada dasarnya adalah
dorongan untuk bertindak. Akar kata emosi adalah movere kata kerja
Bahasa Latin yang berarti “menggerakkan, bergerak”, ditambah awalan “e” untuk
memberi arti “bergerak menjauh”, menyiratkan bahwa kecenderungan bertindak merupakan
hal mutlak dalam emosi Contoh-contoh emosi adalah amarah, ketakutan,
kebahagiaan, cinta, terkejut, jijik, rasa sedih. Kecenderungan biologis untuk
bertindak ini selanjutnya dibentuk oleh pengalaman kehidupan serta budaya.
Pikiran rasional adalah model
pemahaman yang lazimnya kita sadari: lebih menonjol kesadarannya, bijaksana,
mampu bertindak hati-hati dan merefleksi. Tetapi bersamaan dengan itu ada
sistem pemahaman yang lain: yang impulsif dan berpengaruh besar, bila
kadang-kadang tidak logis – yaitu pikiran emosional. Dikotomi emosional/rasional
kurang lebih sama dengan istilah awam antara “hati” dengan “kepala”. Biasanya
ada keseimbangan antara pikiran emosional dan pikiran rasional, emosi memberi
masukan dan informasi kepada proses pikiran rasional dan pikiran rasional
memperbaiki dan terkadang memveto masukan masukan emosi tersebut. Berat otak
manusia adalah 1,5 kg yang terdiri atas sel-sel dan cairan saraf. Bagian otak “neokorteks”
adalah bagian otak yang berpikir. Sistem “limbik” adalah bagian otak saraf emosi.
Bab2 menguraikan tentang “Anatomi
Pembajakan Emosi”. Ledakan emosi merupakan pembajakan. Pembajakan berlangsung
seketika, dan memicu reaksi neokorteks. Ciri utama pembajakan adalah begitu
saat tersebut berlalu, mereka yang mengalaminya tidak menyadari apa yang baru
saja mereka lakukan. Pembajakan adalah kudeta saraf yang berasal dari amigdala,
sebuah pusat di otak limbik. Amigdala adalah spesialis masalah-masalah emosional.
Tanpa amigdala, hidup telah kehilangan semua pemahaman tentang perasaan. Amigdala
berfunsgi sebagai semacam gudang ingatan emosional. Hidup tanpa amigdala
merupakan kehidupan tanpa makna pribadi sama sekali. Fungsi-fungsi amigdala dan
pengaruhnya pada neokorteks merupakan inti kecerdasan emosional.
Secara anatomi, sistem emosi mampu
bertindak sendiri terlepas dari neokorteks. Beberapa reaksi emosional dan
ingatan emosional dapat terbentuk tanpa partisipasi kognitif dan kesengajaan
apa pun. Hippocampus lebih berkaitan dalam perekaman dan pemaknaan pola persepsi
ketimbang reaksi emosional. Dalam ingatan, amigdala dan hippocampus bekerja bersama-sama,
masing-masing menyimpan dan memunculkan kembali informasi khusus miliknya
secara mandiri. Bila hippocampus memunculkan kembali informasi, amigdala menentukan
apakah informasi itu mempunyai nilai emosi tertentu.
Kekeliruan emosional didasarkan pada
mendahulukan perasaan sebelum nalar, dikenal sebagai “emosi prakognitif”.
Pembajakan emosi melibatkan dua dinamika, pemicuan amigdala dan kegagalan
respons emosional. Sambungan antara amigdala dan neokorteks merupakan medan
perang sekaligus persetujuan kerja sama yang dibuat oleh kepala dan hati, nalar
dan perasaan. Hubungan antarsirkuit ini menjelaskan mengapa emosi demikian
penting bagi nalar yang efektif baik dalam membuat keputusan-keutusan yang
bijaksana maupun sekadar dalam memungkinkan kita berpikir dengan jernih. Kita
mempunyai dua kecerdasan rasional dan emosional. Keberhasilan kita dalam
kehidupan
ditentukan oleh
keduanya, tidak hanya oleh IQ tetapi kecerdasan emosional lah yang memegang
peranan.
Bab3 menguraikan tentang “Kapan yang
Pintar itu Bodoh’. Kecerdasan akademis sedikit
saja kaitannya
dengan kehidupan emosional. Yang paling cerdas di antara kita dapat terperosok
ke dalam nafsu tak terkendali dan impuls meledak-ledak. Ciri-ciri kecerdasan emosional
adalah kemampuan memotivasi diri sendiri, bertahan menghadapi frustrasi, mengendalikan dorongan hati dan tidak melebih
lebihkan kesenangan, mengatur suasana hati dan menjaga agar beban stress tidak
melumpuhkan kemampuan berpikir; berempati dan berdoa. Kecerdasan emosional
dapat sama ampuhnya dan terkadang lebih ampuh daripada IQ. IQ yang tinggi tidak
menjamin kesejahteraan, gengsi atau kebahagiaan hidup, sekolah dan budaya kita
lebih menitikberatkan pada kemampuan akademis, mengabaikan kecerdasan emosional.
Orang dengan keterampilan emosional yang berkembang baik berarti kemungkinan
besar ia akan bahagia dan berhasil dalam kehidupan, menguasai kebiasaan pikiran
yang mendorong produktivitas mereka. Sehari-hari tak ada yang lebih penting
daripada kecerdasan antarpribadi. Apabila Anda tidak memilikinya, Anda akan
memilih hal-hal yang keliru mengenai siapa yang akan Anda nikahi, pekerjaan
yang akan Anda ambil, dst. Lima wilayah utama kecerdasan emosional: 1. Mengenali
diri sendiri 2. Mengelola emosi. 3. Memotivasi diri sendiri 4. Mengenali emosi orang
lain. 5. Membina hubungan.
Bab 4 menjelaskan tentang “Kenali
Diri Anda”. Ajaran Socrates “Kenalilah dirimu” menunjukkan inti kecerdasan
emosional. Atau disebut juga kesadaran diri dalam artian perhatian terus
menerus terhadap keadaan batin seseorang. Kesadaran diri berarti “waspada baik
terhadap susasana hati maupun pikiran kita tentang suasana hati. Gaya-gaya
seseorang dalam menangani dan mengatasi emosi seseorang: sadar diri, tenggelam
dalam permasalahan, pasrah. Aleksitimia adalah tidak memiliki emosi atau
perasaan. Ciri-ciri klinis yang menandai penderita aleksitimia mencakup
kesulitan melukiskan perasaan-perasaan mereka sendiri atau perasaan orang lain,
dan perbendaharaan kata emosionalnya amat terbatas. Penderita aleksitimia
jarang menangis, tetapi seandainya menangis air matanya mengucur deras. Mereka
sama sekali tidak menguasai keterampilan dasar kecerdasan emosional, yaitu kesadaran
diri, mengetahui apa yang kita rasakan saat emosi bergolak dalam diri kita. Aleksitimia
disebabkan oleh putusnya hubungan antara sistem limbik dengan neokorteks. “Penanda
somatik” secara harfiah berarti suara hati adalah sejenis alarm automatis
biasanya untuk menarik perhatian ke arah bahaya potensial yang berasal dari
serangkaian tindakan tertentu.
Bab 5 menguraikan tentang “Budak
Nafsu”. Yang baik adalah emosi yang wajar, keselarasanantara perasaan dan
lingkungan. Apabila emosi terlampau ditekan, terciptalah kebosanan dan jarak,
bila emosi tak dikendalikan, terlampau ekstrem dan terus menerus, emosi akan
menjadi sumber penyakit, seperti depresi berat, cemas berlebihan, amarah yang
meluap-luap, gangguan emosional yang berlebihan. Penderitaan dan kebahagiaan
adalah bumbu kehidupan, tetapi keduanya harus bersifat seimbang. Dalam kalkulus
perasaan. Rasio antara emosi positif dan negatiflah yang menentukan rasa
sejahtera itu.
Desain otak menunjukkan bahwa kita
seringkali kurang atau tidak mempunyai kendali atas kapan kita dilanda
emosi juga emosi apa yang akan melanda kita. Tetapi kita dapat
mengirangira berapa lama emosi itu akan berlangsung. Amarah itu tak
pernah tanpa alasan, tetapi
jarang yang
alasannya benar. Amarah merupakan suasana hati yang paling sulit dikendalikan.
Amarahlah yang paling menggoda di antara emosi-emosi negatif. Berpikir dalam
kerangka baru yang lebih positif akan suatu situasi merupakan salah satu cara
yang paling ampuh untuk meredakan amarah. Selingan merupakan alat yang amat
hebat untuk mengubah suasana hati, dengan alasan sederhana, sulit untuk tetap
marah bila kita menikmati saat yang menyenangkan. Triknya, tentu saja adalah
mendinginkan amarah itu sampai tahap dimana seseorang bisa menikmati saat yang
menyenangkan itu terlebih dahulu. Orang dapat bangkit dari depresi dengan
kembali pada daya ilahi. Berdoa apabila Anda amat taat beragama, sangat
bermanfaat untuk segala suasana hati terutama depresi.
Bab 6 menguraikan tentang “Kecakapan
Utama”. Peran motivasi positif yaitu kemampuan memotivasi diri untuk tak
henti-hentinya berlatih secara rutin. Memulai lebih dini memberikan keuntungan
seumur hidup. Berlatih 10 000 jam akan lebih berhasil daripada 7500 jam.
Tingkat ketahanan yang dimulai pada awal hidupnya untuk mampu menempuh latihan
rutin yang berat selama bertahun-tahun. Ketekunan itu bergantung pada sifat emosional,
antusiasme serta kegigihan menghadapi tantangan.
Tidak ada keterampilan psikologis
yang lebih penting selain melawan dorongan hati. Ini
merupakan akar
segala kendali diri emosional, sebab semua emosi, sesuai dengan sifatnya, membawa
pada salah satu dorongan hati untuk bertindak. Anak-anak yang mampu menahan godaan
pada umur empat tahun merupakan remaja yang secara sosial lebih cakap, secara pribadi
lebih efektif, lebih tegas, dan lebih mampu menghadapi kekecewaan hidup. IQ
tidak dapat diubah, dan dengan demikian merupakan batas yang tak dapat diotak
atik atas kemampuan hidup seorang anak, kecakapan emosional seperti
pengendalian dorongan hati dan kepekaan dalam menyikapi situasi sosial adalah
hal yang dapat dipelajari. Suasana hati yang bahagia ketika sedang berlangsung
dapat memperkuat kemampuan untuk berpikir dengan fleksibel dan dengan lebih
kompleks, sehingga memudahkan pemecahan masalah. Harapan dirumuskan sebagai
yakin bahwa Anda mempunyai kemauan maupun cara untuk mencapai sasaran sasaran
Anda, apapun sasaran Anda itu. Dari sudut pandang kecerdasan emosional,
mempunyai harapan berarti seseorang tidak akan terjebak dalam kecemasan,
bersikap pasrah atau depresi dalam menghadapi sulitnya tantangan atau kemunduran.
Optimisme, seperti harapan, berarti memiliki pengharapan yang kuat bahwa secara
umum segala sesuatu dalam kehidupan akan beres, kendati ditimpa kemunduran dan frustrasi.
Orang yang optimis menganggap kegagalan disebabkan oleh seseuatu hal yang dapat diubah sehingga mereka dapat berhasil
pada masa masa mendatang, sementara orang yang pesimis menerima kegagalan
sebagai kesalahannya sendiri. Mampu mencapai flow merupakan puncak
kecerdasan emosional; flow barangkali puncak pemanfaatan emosi demi
performa dan pembelajaran. Flow merupakan pengalaman yang ketika itu
terjadi orang serasa di awang-awang; ciri khas flow adalah perasaan kebahagiaan
spontan. Konsentrasi tinggi merupakan inti flow. Menyalurkan emosi ke
arah tujuan yang produktif merupakan kecakapan utama.
Bab 7 menguraikan tentang “Akar
Empati”. Empati dibangun berdasarkan kesadaran diri,
semakin terbuka
kita kepada emosi diri sendiri, semakin terampil kita membaca perasaan. Emosi
jarang diungkapkan dengan katan-kata, emosi jauh sering diungkapkan melalui isyarat.
Kunci untuk memahami perasaan orang lain adalah mampu membaca pesan non verbal:
nada bicara, gerak gerik, ekspresi wajah. Bila kata-kata seseorang tidak cocok
dengan nada bicara, gerak gerik, atau saluran non verbal lainnya, kebenaran
emosional terletak pada bagaimana ia mengatakan sesuatu bukannya pada apa yang
dikatakannya. Lawan empati adalah antipati. Sikap empatik adalah terus
menerus terlibat dalam pertimbangan pertimbangan moral, sebab dilema moral melibatkan
calon korban: haruskah Anda berbohong untuk menjaga perasaan seorang sahabat?
Akar moralitas ada dalam empati, sebab berempati pada korban potensial,
misalnya seseorang yang dalam keadaan sakit, bahaya atau kemiskinan.
Bab 8 membahas tentang “Seni
Sosial”. Mampu menangani emosi orang lain, merupakan
inti seni
memelihara hubungan. Keterampilan berhubungan dengan orang lain merupakan kecakapan
sosial yang mendukung keberhasilan dalam pergaulan dengan orang lain, tidak dimilikinya
kecakapan ini akan membawa pada ketidakcakapan dalam dunia sosial. Komponen-komponen
kecerdasan antarapribadi adalah: mengorganisir kelompok,
merundingkan
pemecahan, hubungan pribadi, analisis sosial. Orang-orang yang terampil dalam
kecerdasan sosial dapat menjalin hubungan dengan orang lain dengan cukup
lancar, peka membaca reaksi dan perasaan mereka, mampu memimpin dan
mengorganisir, dan pintar menangani perselisihan yang muncul dalam setiap
kegiatan manusia.
Bab 9 menjelaskan tentang
“Musuh-musuh Keintiman”. Anak lelaki dan anak perempuan
dididik dalam
pola yang berbeda dalam menangani emosi. Laki-laki bangga karena kemandirian
dan kemerdekaannya yang berpikiran ulet dan mandiri, sementara perempuan melihat
dirinya sebagai bagian dari jaringan hubungan. Laki-laki terancam bila ada
apa-apa yang dapat menantang kemandiriannya, sementara perempuan lebih terancam
oleh terputusnya hubungan yang mereka bina.
Syarat awal bahwa suatu perkawinan
berada dalam titik kritis adalah kritik tajam. Amat sering ditengah-tengah
amarah terlontar keluhan yang bersifat destruktif, berwujud serangan terhadap
karakter pasangannya. Perbedaan antara keluhan dan kritik pribadi amat
sederhana. Dalam keluhan, si isteri secara spesifik mengungkapkan apa yang
membuatnya tidak senang, dan mengkritik tindakan suaminya, bukan
pribadi suaminya, dengan menyatakan mengapa tindakan suaminya tidak
menyenangkannya. Kebiasaan mengkritik dan menghina atau mencerca adalah
tanda-tanda bahaya karena tindakan itu menunjukkan bahwa seorang suami atau
isteri telah membuat penilaian diam-diam yang semakin buruk terhadap
pasangannya. Dalam benak suami atau isteri, pasangannya adalah sasaran
penghinaan permanen. Suami biasanya mengambil sikap diam sebagai respons
terhadap isteri yang menyerangnya dengan kecaman. Kebiasaan respos bersikap
diam dapat menghancurkan kesehatan suatu hubungan, tindakan tersebut memutuskan
semua kemungkinan untuk menyelesaikan perselisihan.
Flooding adalah lumpuhnya sebuah
perkawinan. Flooding atau terjepit. Suami atau isteri yang terjepit menjadi
begitu emosional yang kerap terjadi oleh keburukan pasangan mereka serta
menjadi begitu terkungkung oleh keburukan pasangan mereka serta reaksi mereka sendiri
atasnya, sehingga mereka dilumpuhkan oleh perasaan kacau yang tak
terkendalikan. Suami atau isteri yang terjepit telah sampai pada tahap di mana
pasangannya dianggap sudah lenyap; kebalikannya yang tampak hanya keburukannya
sepanjang waktu, menagkap apa saja yang dilakukannya dengan sudut pandang
negatif. Flooding itu sendiri menyabot setiap usaha untuk menyelesaikan segala
permasalahan. Suami yang rela mendampingi isterinya mengatasi panasnya amarah,
bukannya meremehkan keluhan isterinya, sebagai hal sepele, akan membuat isterinya
merasa didengarkan dan dihargai. Yang paling penting, isteri ingin agar perasaannya
diakui dan dianggap sah. Sedangkan bagi isteri, berusaha secara sungguh-sungguh
untuk berhati-hati agar jangan sampai menyerang suaminya, boleh mengeluhkan perbuatan
suaminya, tetapi jangan mengkritik kepribadian mereka atau mengungkapkan
penghinaan.
Bab 10 menguraikan tentang “Manajemen
Berlandaskan Perasaan”. Kepemimpinan bukanlah berarti menguasai, melainkan seni
meyakinkan orang untuk bekerja keras menuju sasaran bersama. Kritikan pedas
telah membuat orang-orang yang terkena menjadi begitu patah semangat sehingga
tidak mau lagi mencoba bekerja lebih ulet. Kritik yang bijaksana difokuskan
pada apa yang telah dilakukan dan dapat dilakukan oleh seseorang bukannya menyudutkan
ciri karakternya. Seni menyampaikan kritik dapat terjalin dengan seni memuji: langsung
pada sasaran, tawarkan suatu solusi. Lakukan secara tatap muka dan peka. Bagi orang
yang menerima kritik dapat dianggap sebagai informasi berharga tentang
bagaimana bekerja dengan lebih baik, bukan serangan pribadi.
Bab 11 menjelaskan tentang “pikiran
dan Pengobatan”. Emsoi berpengaruh dahsyat terhadap sistem saraf autonom, yang
mengatur segala macam, mulai dari jumlah insulin yang dikeluarkan tubuh sampai
tingginya tingkat tekanan darah. Jalur penting lain yang menghubungkan emosi
dengan sistem kekebalan adalah melalui pengaruh hormon yangdilepaskan apabila
mengalami stress. Orang yang mengalami kecemasan kronis, mengalami
periode
kesedihan dan pesimisme yang berkepanjangan, ketegangan yang tidak kunjung mereda
atau permusuhan yang tak henti-hentinya, sinisme atau kecurigaan yang tak
putusputusnya, ternyata beresiko dua kali lipat terserang penyakit.
Stres emosional kronis dalam
berbagai bentuknya itu bersifat racun, maka rangkaian emosi lawannya dapat
bersifat penguat. Pesimisme membawa kerugian medis dan ada manfaat medis dari
optimisme. Dua implikasi besar penemuan penemuan ilmiah kecerdasan emosi yang
harus diperhatikan: 1. Membantu orang-orang untuk pandai mengelola
perasaanperasaan yang tidak menyenangkan – amarah, kecemasan, depresi,
pesimisme, dan kesepian – sebagai suatu bentuk pencegahan penyakit. 2. Banyak pasien
memperoleh manfaat besar apabila kebutuhan psikologisnya terpenuhi seiring dengan
terpenuhi kebutuhan murni medisnya.
Bab 12 menguraikan tentang “Wadah
Penggodokan Keluarga”. Kehidupan keluarga merupakan sekolah pertama kita untu
mempelajari emosi. Cara orangtua memperlakukan anak-anaknya-entah dengan
disiplin yang keras atau pemahaman yang empatik, berakibat mendalam dan
permanen bagi kehidupan emosional si anak. Mempunyai orangtua yang cerdas secara
emosional itu sendiri merupakan keuntungan yang besar sekali bagi seorang anak.
Tiga gaya mendidik anak yang secara emosional pada umumnya tidak efisien
adalah: sama sekali mengabaikan perasaan. Terlalu membebaskan. Menghina tidak
menunjukkan penghargaan terhadap perasaan anak. Orang tua yang terampil secara
emosional, dapat sangat membantu anak dengan memberi dasar keterampilan
emosional berikut ini: belajar bagaimana mengenali, mengelola, dan memanfaatkan
perasaan perasaan, berempati, dan menangani perasaan perasaan yang muncul dalam
hubungan mereka.
Orang tua yang terampil secara
emosional memiliki anak-anak yang pergaulannya lebih baik dan memperlihatkan
lebih banyak kasih sayang kepada orangtuanya, serta lebih sedikit bentrok
dengan orangtuanya. Selain itu, anak-anak ini juga lebih pintar menangani emosinya,
lebih efektif menenangkan diri saat marah, dan tidak sering marah. Tujuh unsur
utama yang sangat penting berkaitan dengan kecerdasan emosional: 1. Keyakinan.
2. Rasa ingin tahu. 3. Niat. 4. Kendali diri. 5. Keterkaitan. 6. Kecakapan berkomunikasi.
7. Koperatif. Tiga atau empat tahun pertama dalam hidup merupakan periode di
mana otak anak tersebut tumbuh hingga kurang lebih dua pertiga ukuran normal usia
dewasa. Masa kanak-kanak merupakan saat istimewa yang paling tepat bagi
pelajaranpelajaran emosi. Trauma dapat meninggalkan jejak-jejak abadi di otak.
Bab 13 menguraikan tentang “Trauma
dan Pembelajaran-Ulang Emosi”. Gejala utama gangguan stress pascatrauma atau
PTSD (post traumatic stress disorder). Trauma-trauma parah seperti
trauma PTSD dapat disembuhkan, dan bahwa jalan menuju penyembuhan semacam itu
adalah melalui belajar ulang. Pelajaran-pelajaran emosi, bahkan
kebiasaankebiasaan kanak kanak, dapat dibentuk kembali. Pelajaran emosi berlaku
seumur hidup.
Bab 14 menjelaskan tentang
“Temperamen Bukanlah Suratan Takdir”. Temperamen dapat dirumuskan sebagai
suasana hati yang mencirikan kehidupan emosional kita: Hingga tahap
tertentu kita
masing-masing mempunyai kisaran emosi sendiri-sendiri; temperamen merupakan
bawaan sejak lahir, bagian dari undian genetik yang mempunyai kekuatan hebat dalam
bentang kehidupan ini. Temperamen bukanlah suratan takdir. Amigdala yang
terlalu mudah tergugah dapat dijinakkan dengan pengalaman-pengalaman yang
tepat. Otak tetap dapat dibentuk sepanjang hidup, meskipun tidak sampai sejauh
seperti yang terlihat dalam masa kanak-kanak.
Bab 15 menguraikan tentang “Kerugian
Buta Emosi”. Ada kecenderungan menurunnya tingkat keterampilan emosional anak-anak.
Rata-rata, anak-anak semakin parah dalam masalah spesifik berikut: menarik diri
dari pergaulan masalah sosial, cemas dan depresi, memiliki masalah dalam hal
perhatian atau berpikir, nakal atau agresif. Keterampilan emosional mencakup
kesadaran diri, mengindentifikasi, mengungkapkan dan mengelola perasaan,
mengendalikan dorongan hati dan menunda pemuasan, serta menangani stress dan
kecemasan. Sebuah kemampuan penting untuk mengendalikan dorongan hati adalah
mengetahui perbedaan antara perasaan dengan tindakan, dan belajar membuat keputusan
emosional yang lebih baik dengan terlebih dahulu mengendalikan dorongan untuk bertindak,
kemudian mengindentifikasikan tindakan alternatif serta konsekuensinya sebelum bertindak.
Banyak keterampilan yang merupakan keterampilan antarapribadi: membaca isyarat
emosional dan sosial, mendengarkan, mampu menahan pengaruh buruk, menerima sudut
pandang orang lain, dan memahami tingkah laku mana yang dapat diterima dalam situasi
tertentu.
Bab terakhir bab 16 menjelaskan tentang
“Pendidikan Emosi”. Program keterampilan emosi memperbaiki nilai akademis dan
nilai kinerja sekolah anak. Kemampuan emosional memperhebat kemampuan sekolah
untuk mengajar. Program ini dapat membantu melawan gelombang kemerosotan
pendidikan dan dapat mendukung sekolah mencapai tujuan utamanya. Buku Daniel
Goleman Kecerdasan Emosional adalah buku yang sangat bagus bagi mereka yang
mempelajari Psikologi Kepribadian tingkat lanjut. Buku ini berisi banyak
penelitianpenelitian di klinik psikologi, sehingga data-data yang diajukan
cukup akurat karena memakai sampel pasien yang representatif di Amerika Serikat.
Buku ini bukanlah buku teks psikologi, tetapi berisi pengalaman-pengalaman
empiris yang kemudian dibahas sebagai bahan-bahan untuk menelaah kecerdasan
emosional. Untuk menambah wawasan dan sebagai buku teks dasar buku ini sangat
dianjurkan untuk dibaca oleh sidang pembaca. Hanya saja, situasi dan kondisi
pengalaman empiris psikologis di Amerika Serikat tempat Daniel Goleman
melakukan penelitian dengan praktek-praktek nyata di Indonesia adalah sangat
jauh berbeda. Oleh karena itu pembaca peru menyimak perbedaan latar belakang
psikologis masyarakat antara orang Barat dengan orang Timur. Hanya dengan cara
demikian, maka kecerdasan emosional bagi kita orang Indonesia akan sangat
bermakna.
Senin, 11 Mei 2015
Teori Belajar Konstruktivisme
Posted by akhirulariyanto on 00.23 with No comments
Teori Belajar Konstruktivisme
Teori Konstruktivisme didefinisikan sebagai pembelajaran yang bersifat generatif, yaitu tindakan
mencipta sesuatu makna dari apa yang dipelajari. Beda dengan teori
behavioristik yang memahami hakikat belajar sebagai kegiatan yang bersifat
mekanistik antara stimulus dan respon, sedangkan teori kontruktivisme lebih
memahami belajar sebagai kegiatan manusia membangun atau menciptakan
pengetahuan dengan memberi makna pada pengetahuannya sesuai dengan pengalamannya. Pengetahuan tidak bisa ditransfer dari guru
kepada orang lain, karena setiap orang mempunyai skema sendiri tentang apa yang
diketahuinya. Pembentukan pengetahuan merupakan proses kognitif dimana terjadi
proses asimilasi dan akomodasi untuk mencapai suatu keseimbangan sehingga
terbentuk suatu skema yang baru.
Teori konstruktivisme juga mempunyai pemahaman tentang belajar yang lebih
menekankan pada proses daripada hasil. Hasil belajar sebagai tujuan dinilai
penting, tetapi proses yang melibatkan cara dan strategi dalam belajar juga
dinilai penting. Dalam proses belajar, hasil belajar, cara belajar, dan
strategi belajar akan mempengaruhi perkembangan tata pikir dan skema berpikir
seseorang. Sebagai upaya memperoleh pemahaman atau pengetahuan, siswa
”mengkonstruksi” atau membangun pemahamannya terhadap fenomena yang ditemui
dengan menggunakan pengalaman, struktur kognitif, dan keyakinan yang dimiliki.
Dengan demikian, belajar menurut teori konstruktivisme bukanlah sekadar
menghafal, akan tetapi proses mengkonstruksi pengetahuan melalui pengalaman.
Pengetahuan bukanlah hasil ”pemberian” dari orang lain seperti guru, akan
tetapi hasil dari proses mengkonstruksi yang dilakukan setiap individu. Pengetahuan
hasil dari ”pemberian” tidak akan bermakna. Adapun pengetahuan yang diperoleh
melalui proses mengkonstruksi pengetahuan itu oleh setiap individu akan
memberikan makna mendalam atau lebih dikuasai dan lebih lama tersimpan/diingat
dalam setiap individu.
Adapun tujuan dari teori ini adalah
sebagai berikut:
1.
Adanya motivasi untuk siswa bahwa belajar adalah tanggung jawab siswa itu
sendiri.
2.
Mengembangkan kemampuan siswa untuk mengejukan pertanyaan dan mencari
sendiri pertanyaannya.
3.
Membantu siswa untuk mengembangkan pengertian dan pemahaman konsep secara
lengkap.
4.
Mengembangkan kemampuan siswa untuk menjadi pemikir yang mandiri.
5.
Lebih menekankan pada proses belajar bagaimana belajar itu.
Salah satu teori atau pandangan yang sangat terkenal berkaitan dengan
teori belajar konstruktivisme adalah teori perkembangan mental Piaget. Teori
ini biasa juga disebut teori perkembangan intelektual atau teori perkembangan
kognitif. Teori belajar tersebut berkenaan dengan kesiapan anak untuk belajar,
yang dikemas dalam tahap perkembangan intelektual dari lahir hingga dewasa.
Setiap tahap perkembangan intelektual yang dimaksud dilengkapi dengan ciri-ciri
tertentu dalam mengkonstruksi ilmu pengetahuan. Misalnya, pada tahap sensori
motor anak berpikir melalui gerakan atau perbuatan (Ruseffendi, 1988: 132).
Selanjutnya, Piaget yang dikenal sebagai konstruktivis pertama (Dahar,
1989: 159) menegaskan bahwa pengetahuan tersebut dibangun dalam pikiran anak
melalui asimilasi dan akomodasi. Asimilasi adalah penyerapan informasi baru
dalam pikiran. Sedangkan, akomodasi adalah menyusun kembali struktur pikiran
karena adanya informasi baru, sehingga informasi tersebut mempunyai tempat
(Ruseffendi 1988:133). Pengertian tentang akomodasi yang lain adalah proses
mental yang meliputi pembentukan skema baru yang cocok dengan ransangan baru
atau memodifikasi skema yang sudah ada sehingga cocok dengan rangsangan itu
(Suparno, 1996: 7).
Konstruktivis ini dikritik oleh Vygotsky, yang menyatakan bahwa siswa
dalam mengkonstruksi suatu konsep perlu memperhatikan lingkungan sosial.
Konstruktivisme ini oleh Vygotsky disebut konstruktivisme sosial (Taylor, 1993;
Wilson, Teslow dan Taylor,1993; Atwel, Bleicher & Cooper, 1998).
Ada dua konsep penting dalam teori Vygotsky (Slavin, 1997), yaitu Zone of
Proximal Development (ZPD) dan scaffolding.
Zone of Proximal Development (ZPD) merupakan jarak antara tingkat
perkembangan sesungguhnya yang didefinisikan sebagai kemampuan pemecahan
masalah secara mandiri dan tingkat perkembangan potensial yang didefinisikan
sebagai kemampuan pemecahan masalah di bawah bimbingan orang dewasa atau
melalui kerjasama dengan teman sejawat yang lebih mampu.
Scaffolding merupakan pemberian sejumlah bantuan kepada siswa selama
tahap-tahap awal pembelajaran, kemudian mengurangi bantuan dan memberikan
kesempatan untuk mengambil alih tanggung jawab yang semakin besar setelah ia
dapat melakukannya (Slavin, 1997).
Scaffolding merupakan bantuan yang diberikan kepada siswa untuk belajar
dan memecahkan masalah. Bantuan tersebut dapat berupa petunjuk, dorongan,
peringatan, menguraikan masalah ke dalam langkah-langkah pemecahan, memberikan
contoh, dan tindakan-tindakan lain yang memungkinkan siswa itu belajar mandiri.
Pendekatan yang mengacu pada konstruktivisme sosial (filsafat
konstruktivis sosial) disebut pendekatan konstruktivis sosial. Filsafat
konstruktivis sosial memandang kebenaran matematika tidak bersifat absolut dan
mengidentifikasi matematika sebagai hasil dari pemecahan masalah dan pengajuan
masalah (problem posing) oleh manusia (Ernest, 1991). Dalam pembelajaran
matematika, Cobb, Yackel dan Wood (1992) menyebutnya dengan
konstruktivisme sosio (socio-constructivism), siswa berinteraksi dengan guru,
dengan siswa lainnya dan berdasarkan pada pengalaman informal siswa
mengembangkan strategi-strategi untuk merespon masalah yang
diberikan. Karakteristik pendekatan konstruktivis sosio ini sangat sesuai
dengan karakteristik RME.
Ciri-Ciri Pembelajaran Secara Konstuktivisme
Adapun ciri – ciri pembelajaran secara kontruktivisme
adalah:
1.
Memberi peluang kepada murid membina pengetahuan baru
melalui penglibatan dalam dunia sebenarnya.
2. Menggalakkan
soalan/idea yang dimulakan oleh murid dan menggunakannya sebagai panduan
merancang pengajaran.
3. Menyokong
pembelajaran secara koperatif mengambil
kira sikap dan pembawaan murid.
4. Mengambil
kira dapatan kajian bagaimana murid belajar sesuatu ide.
5. Menggalakkan
& menerima daya usaha & autonomi murid.
6. Menggalakkan
murid bertanya dan berdialog dengan murid & guru.
7. Menganggap
pembelajaran sebagai suatu proses yang sama penting dengan hasil pembelajaran.
8. Menggalakkan
proses inkuiri murid melalui kajian dan eksperimen.
Langganan:
Komentar (Atom)


